Di Bawah Tekanan dan Dibatasi, Jurnalis Hadapi Kendala Laporkan Krisis Rohingya

COLOGNE (SALAM-ONLINE): Jurnalis di Myanmar bekerja di bawah tekanan besar karena rezim membatasi reportase yang adil atas krisis Rohingya, kata Mehmet Oztur, kepala editor kantor berita Anadolu Agency dari layanan bahasa asing, Rabu (2/5/2018).

Berbicara pada sebuah konferensi internasional di Cologne, Jerman, bertajuk ‘Krisis dan Solusi Rhingya’, Mehmet Ozturk mengungkapkan, perlu mendapatkan izin bagi wartawan untuk pergi ke daerah Rakhine di mana pembantaian dan penganiayaan dialami etnis Rohingya.

“Mendapatkan izin sangat sulit. Para wartawan tidak mendapatkan izin dalam banyak kasus. Jadi itu adalah pemadaman besar,” ujarnya.

Sejak Agustus 2017 lalu, lebih dari 750.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari tanah air mereka di tengah aksi brutal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar, kata PBB.

Setidaknya 9.000 Rohingya dibunuh di negara bagian Rakhine sejak 25 Agustus hingga 24 September 2018, demikian data yang diungkap Doctors without Borders (Dokter tanpa Batas).

Ozturk mengatakan sangat sulit bagi organisasi media internasional untuk mendapatkan informasi yang objektif dan dapat diandalkan dari wilayah tersebut.

Penguasa Myanmar sering menolak permintaan visa dari perwakilan media internasional yang ingin melakukan perjalanan ke wilayah tersebut. Jurnalis lokal, di sisi lain, harus bertindak hati-hati, karena masalah keamanan.

“Bahkan jika media lokal tahu apa yang dialami orang-orang Rohingya, mereka tidak dapat melaporkannya seperti apa adanya,” katanya.

Akhirnya, Ozturk mengatakan, banyak organisasi media internasional hanya fokus untuk mendapatkan informasi melalui pengungsi yang menyeberang ke negara tetangga.

Baca Juga

“Jurnalis yang melaporkan dari Bangladesh, terkait dengan apa yang terjadi di Myanmar, harus puas dengan apa yang diungkapkan oleh warga Rohingya yang telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine, ketimbang pengamatan mereka sendiri. Visual juga diperoleh dari pengungsi Rohingya,” terang Ozturk.

“Ini menciptakan masalah verifikasi informasi dan visual (gambar),” katanya.

Ozturk, yang memiliki pengalaman luas di kawasan itu, juga menggarisbawahi bahwa ketika melaporkan krisis Rohingya, orang harus ingat bahwa ini bukan hanya konflik agama atau etnis.

“Ada juga aspek politik, ekonomi, militer dan strategi dari masalah ini,” ujarnya, seraya menekankan kepentingan strategis kawasan itu dan kekayaan sumber daya alamnya.

Dia mencatat bahwa penganiayaan terhadap orang-orang Rohingya dan penderitaan mereka telah diikuti oleh komunitas internasional. Mereka menekan penguasa Myanmar untuk bertindak.

“Tragedi kemanusiaan 9 Oktober 2016 dan 25 Agustus 2017 tidak seperti yang lain bagi Rohingya. Tetapi dunia, terutama negara-negara Muslim bereaksi seperti belum pernah terjadi sebelumnya. Kesadaran internasional tentang Rohingya mulai muncul,” terangnya.

“Masalah itu dialihkan ke Dewan Keamanan PBB. Tekanan terhadap rezim Myanmar terus meningkat dari hari ke hari.” (S)

Sumber: Anadolu Agency

Baca Juga