ICG Desak Bangladesh Hentikan Pemulangan Paksa Rohingya ke Myanmar
Myanmar dan Bangladesh harus bekerja untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembalian yang aman dan bermartabat, kata ICGBRUSSELS (SALAM-ONLINE): Kelompok pemikir International Crisis Group (ICG) yang bermarkas di Brussels mendesak agar Bangladesh menghentikan rencana untuk mengembalikan pengungsi Muslim Rohingya ke Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan berjudul “Bangladesh-Myanmar: Bahaya Pemulangan Rohingya Secara Paksa” pada Senin (12/11/2018), kelompok itu mengkritik kesepakatan antara Myanmar dengan Bangladesh untuk repatriasi (pemulangan kembali) terhadap lebih dari 2.000 pengungsi Rohingya pada 15 November mendatang.
“Myanmar dan Bangladesh harus menghentikan rencana tersebut dan harus bekerja untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembalian yang aman dan bermartabat,” kata ICG seperti dilansir kantor berita Anadolu, Rabu (14/11).
ICG memperingatkan pemulangan paksa membawa risiko serius bagi keamanan dan stabilitas di kedua sisi perbatasan dan akan meningkatkan ketegangan di kamp-kamp serta mengarah ke konfrontasi antara pengungsi dan pasukan keamanan Bangladesh.
“Jika para pengungsi khawatir bahwa mereka akan dipaksa kembali ke Myanmar, mereka mungkin menjadi lebih putus asa untuk meninggalkan kamp-kamp dan mencoba melakukan perjalanan laut berbahaya melintasi Teluk Benggala ke Thailand, Malaysia, Indonesia atau negara lain,” bunyi pernyataan itu.
“Hal ini bisa berimplikasi terhadap masalah regional yang lebih luas, seperti yang terjadi dalam krisis migrasi maritim 2015,” lanjut pernyataan ICG.
Lembaga advokasi global juga mebdesak PBB dan lembaga pengungsinya untuk terus “dengan tegas menentang repatriasi di depan umum dan secara pribadi dan menggunakan pengaruhnya di kedua negara untuk menghentikan proses tersebut”.
“AS, Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan lainnya juga harus menekan Bangladesh dan Myanmar untuk menghentikan pengembalian. Dan sebaliknya bekerja menciptakan kondisi yang kondusif untuk repatriasi suka rela. Partisipasi negara-negara tersebut pada KTT ASEAN 11-15 November mendatang di Singapura adalah kesempatan untuk melakukannya,” kata ICG.
Penganiayaan atas Rohingya
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat setelah pembunuhan dan kekerasan komunal terhadap mereka pada 2012.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan Myanmar, menurut laporan Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA).
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dilemparkan ke dalam api. Sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, kata laporan OIDA, yang berjudul “Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang tak Terkira”.
Sekitar 18.000 wanita dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar dan 113.000 lainnya dirusak, tambah pernyataan ICG.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, melarikan diri dari Myanmar, lalu menyeberang ke negara tetangga Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan brutal terhadap komunitas Muslim minoritas tersebut pada Agustus 2017.
PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan—termasuk bayi dan anak kecil—pemukulan brutal dan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh pasukan Myanmar. Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (mus)
Sumber: AA