Pendewasaan usia perkawinan dianggap bisa menekan tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Karena, perkawinan anak banyak mudharatnya. Benarkah? Kemenag pun menggelar Seminar Sehari ‘Pendewasaan Usia Pernikahan’. Apa kata ulama muda?
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Rencana pemerintah untuk menaikkan batas usia pernikahan terus dikampanyekan di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Untuk menguatkan kampanye itu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), menggelar Seminar Sehari “Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)” di Auditorium Prof HM Rasjidi, Gedung Kemenag, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (29/11/18).
Acara yang dibuka oleh Penasihat Persatuan Dharma Wanita Kemenag, Trisna Willy, itu dihadiri ratusan peserta dari perwakilan berbagai organisasi kepemudaan seperti HMI, PMII, Fatayat NU, IPNU, Komunitas One Day One Juz (ODOJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan remaja masjid se-Jabodetabek.
Dalam sambutannya, Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, Dr Muhammadiyah Amin, menyatakan bahwa acara yang masuk dalam pengarusutamaan gender ini rutin dilakukan setiap tahun di lingkungan Kemenag RI. Untuk tahun ini, kata Muhammadiyah, Kemenang mengambil tema besar tentang Pendewasaan Usia Pernikahan (PUP).
“Sosialisasi pendewasaan usia perkawinan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Karena perkawinan anak banyak mudharatnya, sehingga perlu dicegah bersama,” ujarnya.
Menurut Muhammadiyah Amin, fakta-fakta tentang rapuhnya lembaga perkawinan yang berujung pada perceraian, tingginya angka kematian bayi, meningkatnya angka kemiskinan, dan lain-lain, membuat pemerintah prihatin sehingga berusaha terus untuk mengusulkan penambahan batas usia pernikahan.
“Aparatur KUA telah melakukan pencegahan perkawinan anak dengan persyaratan ketat, sesuai dengan regulasi yang ada. Jika ada pengantin yang usianya di bawah batas yang dibolehkan, pasti ditolak, kecuali ada izin dari pengadilan,” tambah pria yang pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Gorontalo ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Rita Pranawati, yang hadir sebagai narasumber, dalam paparannya menyatakan bahwa pendewasaan batas usia pernikahan bertujuan untuk membangun ketahanan keluarga dan terwujudnya pernikahan yang ideal.
Dari hasil penelitiannya, Rita menjelaskan, banyak terjadi kasus perceraian dari pernikahan yang dilakukan di bawah batas usia yang sudah diatur. Pernikahan, menurutnya, tidak hanya sekadar mampu secara fisik, tetapi juga harus melihat kondisi psikologisnya.
“Ini yang jarang diperhatikan oleh para orangtua yang menikahkan anaknya,” tutur Rita.
Rita mengungkapkan, banyak terjadi pernikahan di bawah batas ambang usia yang sudah ditetapkan karena paksaan dari orangtua. Selain karena paksaan, pernikahan disebabkan hamil di luar nikah juga menjadi faktor tingginya angka pernikahan seperti itu. “Di berbagai daerah pernikahan seperti ini masih banyak terjadi,” terang alumnus Monash University, Australia, ini.
Selain Rita, pembicara kedua dalam seminar tersebut, Iklilah Muzayyanah, juga setuju dengan penambahan batas usia pernikahan. Menurut praktisi bimbingan pernikahan dan psikolog Universitas Indonesia ini, masih banyaknya pernikahan anak di bawah ambang batas usia yang sudah ditetapkan memicu maraknya perceraian dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Karena itu, Iklilah juga setuju dengan pendewasaan usia perkawinan. “Tujuan penambahan batas usia ini baik, agar tercipta keluarga yang harmonis,” ucapnya.
Sebelumnya pada 16 April 2018, dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR-RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise mendorong pemerintah untuk merevisi Pasal 7 Ayat 1, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam UU tersebut batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Menurut Yohana, usia pernikahan sebaiknya dimulai dari usia 20 tahun. Yohana juga mengaku sudah bertemu dengan Menteri Agama untuk mengusulkan revisi UU tersebut atau dibuatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
Selain pemerintah, upaya untuk merevisi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga pernah dilakukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 2014. Namun gugatan kedua lembaga tersebut ditolak oleh MK pada 2015.
Sementara Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), Dr Jeje Zainuddin, meminta pemerintah untuk berhati-hati terkait isu ini. Menurut Jeje, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mempunyai sejarah pembentukan dengan polemik dan perdebatan yang panjang dan keras.
“Jadi ini sangat sensitif kalau dilakukan revisi, tapi tidak hati-hati,” kata Jeje. Karena itu, Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggara ini mengingatkan, “Upaya revisi ini akan mengulang perdebatan yang sarat dengan muatan teologis, ideologis, sosiologis, bahkan politis.”
Menurut Jeje, perkawinan adalah masalah akidah dan hukum ibadah, dimana proses dan prosedurnya sudah diatur oleh syariat, bukan sekadar kontrak sosial antar kedua individu berbeda kelamin untuk legalitas seksual.
“Secara yuridis, memang Islam tidak mengatur secara rigid batasan usia perkawinan, sebab hal itu tidak masuk dalam rukun atau syarat perkawinan. Namun, pemerintah boleh mengatur itu dengan mengacu pada kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat (al-‘adah muhakkamah), “ terangnya.
Pria yang juga aktif di Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini mengajukan pertanyaan kepada pemerintah, “Apakah dengan menaikkan batas minimal usia pernikahan tidak membuka peluang bagi merajalelanya perzinahan atau hubungan bebas di luar nikah di kalangan remaja?
Begitu juga apakah dengan memaksakan UU untuk membatasi usia minimal perkawinan itu tidak melanggar hak budaya di sebagian masyarakat Indonesia yang sangat beragam, dimana nikah muda menjadi solusi bagi problem sosial-ekonomi dan sosial-budaya?”
Jika terjadi dampak negatif dari pernikahan dini, menurut Jeje, maka tanggung jawab negara adalah membantu dan memberi pendampingan kepada warga negaranya.
“Tidak kalah penting juga, Kemenag dan KPPPA harus menaruh perhatian serius untuk mengusulkan UU yang dapat menjaga, melindungi dan mengedukasi para remaja dari pergaulan bebas,” tutupnya.
Senada dengan Jeje, ulama muda yang juga tergabung dalam MIUMI, Fahmi Salim, MA menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur batas usia perkawinan sudah cukup.
“Dari UU yang ada saja itu banyak yang minta dispensasi pengurangan batas usia agar bisa menikah, bagaimana jika itu dinaikkan?” ungkap Fahmi.Sekretaris Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini mengatakan, “Pemerintah cukup mengedukasi bahwa untuk menikah itu perlu kematangan, persiapan fisik, materi, mental. Selain itu pemerintah juga harus melindungi dan melayani warga negaranya yang akan menikah, bukan malah dibatasi atau dihalangi dengan UU.”
Fahmi Salim meminta pemerintah dan umat Islam tidak perlu lagi berdebat soal batas usia perkawinan, karena, itu semua sudah disepakati oleh para ulama dan umat dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974 tersebut.
“UU itu untuk menjaga agar tidak semakin banyak orang nanti terjatuh pada pergaulan bebas atau perzinahan. Itu sudah cukup,” tegasnya. (AW/Salam-Online)