8 tahun Pasca Revolusi, Rakyat Mesir: Kebebasan Telah Terkikis
Aktivis HAM mengatakan bahwa diktator Sisi telah memimpin dengan tindakan keras, terburuk terhadap kebebasan dalam sejarah modern Mesir.
KAIRO (SALAM-ONLINE): Setiap hari saat matahari terbenam, Ahmed Maher, salah seorang aktivis Mesir yang paling terkenal, mengucapkan ‘selamat malam’ kepada keluarganya dan pergi ke kantor polisi Kairo untuk menghabiskan malam di bawah pengawasan polisi.
Sementara apa yang ia gambarkan sebagai ‘setengah hukuman penjara’ telah mengganggu kehidupan keluarga, karir dan pendidikannya, Maher menganggap dirinya lebih beruntung daripada aktivis revolusi 25 Januari 2011 lainnya yang mengakhiri kekuasaan 30 tahun Presiden diktator Hosni Mubarak.
Seperti banyak orang muda Mesir yang berkemah selama berhari-hari di Lapangan Tahrir Kairo pada 2011 (8 tahun yang lalu), calon penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang berusia 38 tahun itu memperkirakan kejatuhan Mubarak akan membuka jalan bagi kebebasan.
Namun, alih-alih seperti yang diharapkan, Maher dan aktivis lainnya mengatakan bahwa segalanya menjadi semakin buruk.
“Tidak ada yang membayangkan bahwa situasinya akan seburuk ini,” kata Maher, seorang insinyur yang juga mengambil studi dalam ilmu politik, kepada Reuters, sebagaimana dikutip Middle East Monitor (MEMO), Kamis (24/1/2019).
“Bahkan hak untuk berkumpul di tengah orang banyak atau untuk mengekspresikan pendapat pun dilarang.”
Rezim kudeta di bawah Abdel Fattah Al-Sisi, yang merebut pemerintahan Presiden sah Dr Mohammad Mursi, bertekad untuk menghancurkan gerakan Ikhwanul Muslimin setelah satu tahun merampas kekuasaan dari tangan Mursi. Akibatnya ekonomi terpuruk. Diktator berdarah ini juga menyasar para aktivis sekuler, termasuk banyak tokoh terkemuka revolusi 25 Januari 2011.
Banyak yang telah melarikan diri dari negara itu. Sementara yang lainnya berada di penjara. Dan kelompok ketiga dibungkam.
Maher, dibebaskan dari hukuman penjara tiga tahun, pada awal 2017. Dia yang diseret karena dituduh melanggar undang-undang anti-protes, memulai masa percobaan tiga tahun hukuman dengan menghabiskan waktu malam, mulai pukul 6 petang hingga jam 6 pagi, di kantor polisi.
Pendukung Sisi, yang merayakan peringatan 30 Juni penggulingan Presiden sah Mohammad Morsi pada 2013, berpendapat bahwa tindakan keras diperlukan untuk menyelamatkan ekonomi dan menyingkirkan kelompok/aktivis Islam yang mereka tuduh berusaha mengambil langkah untuk mempertahankan kekuasaan.
Tindakan keras terburuk dalam sejarah modern Mesir
Aktivis HAM mengatakan bahwa diktator Sisi telah memimpin dengan tindakan keras terburuk terhadap kebebasan dalam sejarah modern Mesir.
Ribuan aktivis, kebanyakan dari mereka adalah aktivis Islami, tetapi juga termasuk puluhan liberal dan kelompok kiri, telah dipenjara berdasarkan peraturan ketat yang diberlakukan sejak 2013, saat diktator Sisi merebut kekeuasaan dari Mursi.
Aktivis mengatakan bahwa para intelektual, kritikus dan aktivis hak asasi manusia telah ditangkap dengan tuduhan menjadi bagian dari “organisasi teroris” atau mempublikasikan berita palsu atau mengganggu ketertiban umum.
Mereka, termasuk Wael Abbas, jurnalis pemenang award, Hazem Abdelazim, seorang pendukung Sisi yang terkenal kemudian berubah menjadi pengkritik Sisi, dan Alaa Abdel Fattah, seorang blogger terkemuka yang dipenjara selama lima tahun.
Ahmad Douma, tokoh lain dari revolusi 25 Januari 2011, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara awal bulan 2019 ini setelah ia dinyatakan bersalah melakukan kerusuhan dan menyerang pasukan keamanan pada 2011.
“Setiap kali seorang manusia disiksa, dihilangkan, dibunuh secara ekstra-hukum, dieksekusi atau ditangkap secara sewenang-wenang, pihak berwenang Mesir menyampaikan pesan: perubahan yang mereka minta tidak akan datang,” kata EuroMed Rights, sebuah jaringan berbasis di Kopenhagen dalam sebuah pernyataan.
Rezim kudeta Mesir, yang tak mau mengaku dengan jujur memiliki tahanan politik, menolak tuduhan-tuduhan tersebut. Tetapi pendukung Sisi mengatakan bahwa ketegasan diperlukan untuk mengakhiri tahun-tahun pelanggaran hukum dan militan di balik serangan yang telah menewaskan ratusan orang.
“Seluruh dunia berpikir bahwa para pemuda revolusi akan memainkan peran dalam menjalankan negara, sebagaimana negara mana pun mencari pemuda-pemuda yang berkualitas,” ucap Maher, yang mendirikan Gerakan 6 April pada 2008, sebuah kelompok akar rumput yang telah berkampanye menentang pemerintahan diktator Mubarak. “Sayangnya, ada permusuhan besar terhadap para pemuda,” sesalnya.
September 2018 lalu, 17 pakar hak asasi manusia PBB mengkritik rezim kudeta Mesir karena menggunakan undang-undang anti-terorisme untuk menahan aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan menentang korupsi, penyiksaan dan pembunuhan di luar pengadilan.
Israa Abdul Fattah, anggota Gerakan 6 April lainnya, mengatakan bahwa Mesir sekarang lebih buruk dibanding sebelum revolusi 25 Januari 2011 (saat diktator Mubarak berkuasa). “Mesir bisa berubah dan semuanya akan baik jika memiliki satu hal, keadilan,” kata Abdel Fattah, yang seperti banyak aktivis lainnya dilarang bepergian ke luar negeri.
Aktivis mengatakan satu-satunya hasil positif dari revolusi, adalah membatasi masa jabatan presiden dengan dua periode. Tetapi hal itu bisa segera berubah jika diktator Sisi dan pendukungnya merencanakan untuk mengubah konstitusi.
Pada sebuah upacara untuk memperingati Hari Polisi, diktator Sisi memberikan penghormatan pada revolusi 25 Januari, tetapi tetap diam ketika seorang pembicara memintanya agar setuju untuk tetap konsisten menjabat dalam dua masa (periode) sampai empat tahun mendatang.
Anwar al-Hawary, mantan editor surat kabar al-Masri al-Youm milik swasta, mengatakan diktator Sisi nampaknya lebih suka tetap berkuasa di luar masa jabatan kedua. Hawary memperingatkan langkah (untuk tetap berkuasa) itu “tidak logis”. (mus)
Sumber: MEMO