Menyoal Penghapusan Istilah ‘Kafir’ untuk ‘Non-Muslim’

-CATATAN M RIZAL FADHILLAH, SH-

Kafir adalah label pemberian Allah. Umat Islam yang beriman sangat yakin akan hal ini. Apa yang menjadi kriteria dalam Al-Qur’an harus diterima, termasuk ketika menyebut orang yang bukan Muslim sebagai kafir. Ini tak lain adalah manifestasi keimanan.SALAM-ONLIiNE: Ada kehebohan baru dari Munas Alim Ulama NU 2019 di Banjar Jawa Barat yang diungkap tokoh liberal Abdul Muqsith Ghazali berkaitan dengan bagian rekomendasi Komisi Lembaga Bahtsul Masa’il Waqi’iyah tentang penghapusan istilah “kafir” untuk non-Muslim di Indonesia. Mengganti istilah “kafir” dengan “muwathinun”. Jika rekomendasi itu untuk kalangan sendiri tentu tak masalah, mau apa saja menjadi urusan dan konsekuensi internal. Akan tetapi jika bersifat imbauan umum kepada Muslim di Indonesia yang lainnya, maka layak ada pandangan atau tanggapan.

Pertama, Aspek Imaniyah.

Sikap mengganti Istilah “kafir” yang ada dalam Al Qur’an sebagai predikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada non-Muslim dinilai sebagai keberanian tak berdasar dan bisa jatuh pada ke “kafir” an pula. Ini bukan sekadar pembaruan nama menjadi “muwathinun” tapi sudah pengubahan makna dalam Al-Qur’an. Aspek yang disinggung adalah keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan non-Muslim sampai kapan pun dengan sebutan “kafir” yang asal katanya “kafaro” (tertutup).

Kedua, Aspek Muamalah.

Argumen bahwa dalam kewaganegaraan tak ada istilah “kafir” merupakan alasan sumier, mengada-ada dan dicari-cari. Sejak negara ini didirikan memang tak satupun ulama atau Muslim yang membagi status kewarganegaraan berdasarkan agama atau keimanan. Umat Islam tidak pernah mempersoalkan status WNI dan WNA. Umat Islam juga tidak pernah mengharapkan bahwa klasifikasi kewarganegaraan adalah “muslim” dan “kafir”.
Pandangan atau alasan yang dibuat-buat ini adalah asumsi, dugaan, atau khayalan? Sungguh ini merupakan fitnah bagi umat Islam Indonesia.

Ketiga, Aspek Toleransi.

Baca Juga

Wakil Ketua Lembaga Batsul Matsail PBNU Abdul Moqsith Ghazali mengemukakan bahwa sebutan “kafir” itu merupakan kekerasan teologis yang menyakitkan umat non-Muslim. Ungkapan ini justru telah menyakitkan hati umat Islam. Mengapa keyakinan harus dihancur leburkan oleh dalih toleransi atau tasamuh ? Demi menjaga perasaan umat lain, umat Islam harus membuang prinsip dan keyakinannya sendiri. Betapa hina dan tak bermartabatnya Muslim. Ucapan Moqsith yang mendasari penghapusan “kafir” dalam kaitan toleransi jelas sikap “minder” nya seorang Muslim pada umat non-Muslim. Mental budak. Benar kita tak boleh angkuh dan sok merasa lebih, akan tetapi Muslim tak boleh merendahkan diri atau pengecut seperti tikus cerurut.

Kafir adalah label pemberian Allah. Umat Islam yang beriman sangat yakin akan hal ini. Apa yang menjadi kriteria dalam Al Qur’an harus diterima, termasuk ketika menyebut orang yang bukan muslim sebagai kafir. Ini tak lain adalah manifestasi keimanan. Bahwa Muslim harus berbuat baik dan memberi mashlahat pada siapa saja termasuk non-Muslim adalah hal lain yang berada pada tataran akhlak. Tak boleh menganiaya dan berbuat curang. Itupun merupakan uswah nubuwwah.

Lagi pula, orang non-Mslim tidak pernah menunjukkan “sakit hati” pada ajaran Islam yang memberi predikat kafir pada mereka. Umat Islam juga cukup dewasa tentang tata krama dan etika. Mana appeal atau petisi keberatan atau gugatan yang pernah ada dari non muslim ? Kok tiba tiba secara keji menyatakan istilah kafir sebagai kekerasan teologis yang menyakitkan non-Muslim? Membela sesuatu yang mereka juga tak masalahkan. Sebaliknya malah membuat statemen yang menyakitkan pada umat Islam. Kalam Allah Subhanahu wa Taala jangan dikoyak koyak makna dan kesuciannya. Sekadar menjilat berhala moderasi, toleransi, anti radikal, atau sebutan-sebutan lain yang insinuatif.

Bandung, 2 Maret 2019

-Penulis Ketua Masyaraskat Unggul (MAUNG) Bandung Institute

Baca Juga