Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Kampanye soal pembangunan infrastruktur menjengkelkan. Masalahnya bukan tidak perlu dan tak bermanfaat. Tetapi dananya dari mana. Jika modal hanya pada utang, maka itu beban berbayar jangka panjang.
Catatan kini utang Indonesia mencapai 5.600 Triliun. Angka besar yang tak bisa selesai dibayar satu masa jabatan periode Jokowi ke depan. Dipastikan sulit ada kemajuan berarti lima tahun dengan beban sebesar itu.
Ditambah dengan ambisi membangun ibu kota negara di Kalimantan dengan biaya besar pula. Gagasan tanpa perhitungan dan tanpa persetujuan rakyat. Kemauan yang tidak berbasis kemampuan. Andai perekonomian sedang meroket tentu layak untuk dipertimbangkan. Jika tidak, spekulasi yang sangat berisiko.
Pindah Ibu kota tidak semudah dipidatokan Jokowi. Jika Kalimantan Tengah sebagai pilihan maka sepertinya harus membangun “dari nol”. Biaya hitungan sekarang saja 466 Triliun. Esok biaya akan membengkak. Biasa begitu.
Jika Jokowi menjabat Presiden hanya sekadar menambah-nambah utang, baiknya rakyat berpikir ulang. Masa depan suram sudah terbayang. Indonesia bisa bergerak menuju status negara gagal (failed state).
Pindah Ibu kota seperti yang sudah pasti saja. Dalam pidato resmi dinyatakan Kalimantan sebagai pilihan. Hitungan biaya sudah dikemukakan. Tahun 2020 konon mulai awal realisasi.
Nah, persoalannya memindahkan Ibu kota bukan hanya ditentukan maunya sendiri. Apalagi berbiaya besar. Harus dengan persetujuan rakyat, Pak.
Wakil rakyat harus dimintakan pandangan danmesti memproses melalui mekanisme kedewanan. Ada Pansus dan ada hearing-hearing. Suara dan aspirasi masyarakat didengar dulu.
Yang perlu dikaji juga soal penjualan aset di Jakarta. Konon itu untuk biaya pindah. Kok bisa jualan seenaknya begitu.
Jika alasan bahwa Dewan akan mengakhiri masa jabatan, sementara anggota Dewan baru belum dilantik dan perlu waktu penyesuaian kerja, lalu Presiden berjalan sendiri maka hal demikian tetap merupakan tindakan sewenang- wenang.
Negara ini bukan milik Pemerintah atau Presiden. Rakyat harus terlibat dalam penentuan kebijakan yang strategis seperti ini. Oleh karenanya solusi cepat yang perlu dilakukan adalah Referendum. Tanyakan dahulu pada rakyat setuju atau tidaknya pemindahan Ibu kota tersebut.
Jika hasil referendum rakyat menyetujui pemindahan, barulah Pemerintah melakukan langkah-langkah persiapan. Jika tidak disetujui maka setop rencana tersebut. Hal ini dilakukan agar langkah dan biaya yang dikeluarkan tidak sia-sia. Bocor dan pemborosan menjadi penyakit kronis. Belum lagi jika dananya dikorupsi.
Referendum yang dihapus oleh MK adalah Referendum tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Referendum selainnya masih dimungkinkan. Oleh karena itu bisa dibuat suatu Konvensi untuk pemindahan Ibu kota dengan Referendum ini.
Jika Presiden Jokowi tetap berjalan sendiri maka itu berarti pelanggaran Konstitusi. Ia telah mengubah sistem demokrasi menjadi otokrasi. Sikap politik yang tidak menghargai pandangan rakyat merupakan kesalahan besar. Bisa segera dimakzulkan.
*) Pemerhati Politik, tinggal di Bandung
22 Agustus 2019