Oleh M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Sentimen pada HTI menyebabkan persoalan Enzo begitu cepat direaksi. Prof Mahfud MD menyatakan TNI kecolongan. Sebenarnya ini adalah pelecehan pada institusi TNI.
Kebencian pada HTI membawa sikap membabi buta. Ujungnya saling tantang menantang, bersayembara pula. Obyeknya adalah bendera tauhid.
Dalam berita Gatra.com Mahfud MD lagi-lagi bikin masalah. Dia menyebut ulama radikal Saudi lari ke Indonesia membawa Jutaan US Dollar dan mendirikan pesantren antara lain di Yogya dan Magelang. Kemudian mengembangkan radikalisme.
Sejak awal perlu klarifikasi apa yang dimaksud dengan radikalisme itu. Kemudian jelaskan saja siapa ulama tersebut. Jangan main teka-teki dan sok tahu. Persoalan Islam dan kaum Muslimin selalu dipojokkan oleh isu-isu seperti ini. Dulu kenyang kita dengan isu “terorisme”.
Profesor itu seharusnya lebih memberi pencerahan untuk mencerdaskan publik. Bukan tukang “celetuk” tak bermutu. Sudah tak jelas ditambah tendensius pula. Profesor Muslim mestinya membela komunitas Muslim. Bukan menembak sana-sini ikut menjadi komunitas Islamofobia.
Umat Islam sudah berat menghadapi lawan-lawan “luar” pembencinya. Kini terus direcoki oleh orang orang “dalam” yang sok cendekiawan dan negarawan. Cobalah sekali kali belajar “alif ba ta” menjadi pembela Islam.
Pak Mahfud MD bolehlah menjadi anggota Badan Pembina Ideologi Pancasila yang digaji tidak kecil. Tapi itu bukan alasan untuk menghancurkan martabat diri di hadapan umat Islam. Bendera tauhid diolok-olok, radikalisme agama di panas-panasi. Mewanti-wanti bukan dengan menuduh-nuduh. Saat Profesor mati nama menjadi taruhan. Di mana Bapak berada dan berpihak.
Seorang Muslim selalu berdoa agar “husnul khotimah”. Sayang banyak para tokoh “Muslim” berjalan di alur yang berisiko menjadi “su’ul khotimah”. Hidayah memang mahal dan sepenuhnya menjadi otoritas Allah.
Tidak sepakat dengan cara perjuangan HTI adalah hak. Tapi membenci dan mengoyak-oyak adalah keliru. Ada universalitas yang suci di sana, “Khalifah”. Abubakar, Umar, Utsman dan Ali adalah sahabat Nabi utama bergelar “Khulafa’ur Rasyidin”. Mereka adalah Khalifah yang mulia.
Bendera tauhid adalah bendera Nabi. Jangan membencinya karena tak suka HTI. Sungguh, politik pragmatik menghancurkan reputasi, akidah dan khidmah Islam beserta simbol-simbolnya.
Radikalisme kini bukan lagi cara, tapi sudah jadi isu politik. Sudah jadi senjata kaum sekuler untuk melumpuhkan kekuatan Islam. Profesor dan tokoh lain jangan terpapar politik jahat sekularisasi ini.
Anda Muslim yang awalnya dikenal berbasis perjuangan Islam. Kaum sekuler akan bersorak karena para tokoh Islam ikut bergerak di jalur kepentingannya. Mereka akan bayar mahal untuk ini dan itu, kecil. Justru yang dikhawatirkan kitalah orang orang yang telah menjual harga diri ke-Musliman dengan “tsamanan qoliilan” harga yang murah.
Mahfud MD, kembalilah ke basis. Belum terlambat kok. Bela-lah kepentingan umat. Jangan ikut mengacak-acak. Moga tidak nekat dan merasa tanggung sudah “kecemplung”. Sebab, jika itu yang dipilih, maka kekuasaan Allah tidak akan terbendung. Khawatir kelak masuk golongan orang yang tidak beruntung.
*) Pengamat Politik
18 Agustus 2019