Inpres BPJS tak Beres, Kesejahteraan Rakyat Jadi Khayalan

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE: Pemerintah sedang menggodok Instruksi Presiden (Inpres) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Kontennya adalah bagi penunggak BPJS tidak akan bisa memperpanjang SIM, Paspor, dokumen pertanahan, mengakses perbankan, IMB dan lainnya.

Demikian pernyataan yang pernah diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Mungkin ke depan saking sakti dan berkuasanya BPJS, penunggak tidak bisa mengurus dokumen pernikahan, kelahiran, bahkan kematian. Yang pasti penunggak tidak bisa tidur.

Aturan “semaunya” ini bukan saja menjadi indikasi negara menjadi oligarkhis, otoriter, atau memikirkan dirinya sendiri, akan tetapi mempraktikkan gaya pemerintahan penjajahan. Semua dilakukan dengan paksaan dan ancaman. Model negara totaliter atau komunis. Bias antara BPJS sebagai “insurance” dengan “jaminan kesehatan” sangat nyata dan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan pemaksaan.

Belum lagi pelayanan Pemerintah pada mitra (fasilitas kesehatan) dan pasien BPJS juga belum maksimal bahkan “keteteran”. Pasien BPJS masih merasa dilayani sebagai “pasien kelas dua” dibandingkan pasien umum. Mitra (faskes) juga “kalang kabut”.

Banyak rumah sakit swasta megap-megap diperlakukan oleh Badan Pemerintah ini. Hutang yang seret pembayarannya membuat “hancur” mitra BPJS. Dari defisit 32,8 Triliun sampai September 2019, sebesar 11 Triliun rupiah adalah hutang BPJS ke Rumah Sakit. Sulit memperjuangkan hak jika yang berbuat zalim atau wanprestasi adalah Pemerintah atau BPJS itu sendiri.

Secara perundang-undangan untuk hal yang menyangkut kepentingan rakyat secara umum tidak cukup diatur oleh sebuah Inpres. Harus dalam bentuk Undang Undang (UU). Artinya, melibatkan persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya. Sanksi yang multi spektrum seperti tidak bisa mengurus dokumen penting dan lain lain tidak boleh “disiasati” dengan model Inpres. Ini persoalan mendasar dari hak-hak rakyat.

Baca Juga

Masalah menunggak merupakan hal yang biasa. Sanksi yang wajar adalah bahwa penunggak tidak dapat menerima layanan sebelum melunasi, paling ditambah dengan dendanya. Wacana menggunakan penagih “debt collector” lebih parah lagi. Tidak beralasan hukum atau tidak rasional jika sebab menunggak BPJS maka penunggak tidak bisa mengurus perpanjangan SIM atau Paspor. Kartu BPJS itu bukan KTP.

Sekarang BPJS sudah dinaikkan iurannya. Masyarakat tak berdaya dipaksa untuk menerima. Setelah dinaikkan sanksi atas tunggakan dibuat berat. Ini tidak adil. Ini bukan pelayanan, tetapi penekanan bahkan penyiksaan.

Negara kesejahteraan (welfare state) yang mestinya menyejahterakan rakyatnya menjadi jauh panggang dari api. Negara yang membahagiakan menjadi khayalan. Negara gagal (failed state) masih ringan sebutannya. Yang pantas adalah negara jahat atau negara kriminal (criminal state). Waduh!

*) Pemerhati Sosial Politik

Bandung, 9 Oktober 2019

Baca Juga