JAKARTA (SALAM-ONLINE): Adu argumen antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar membuktikan komunikasi antar menteri di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) amburadul.
Menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin, carut marutnya komunikasi para menteri karena mereka sedang mencari panggung.
“Menteri ini kan sedang nyari panggung. Ada info yang harusnya ditutup atau diselesaikan di istana sehingga tidak mencuat keluar,” tutur Ujang sebagaimana dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Senin (11/11).
Ujang menambahkan, carut marutnya komunikasi antar menteri memang sudah terjadi sejak periode pertama kepemimpinan Jokowi.
“Komunikasi ini sudah lama tidak benar. Dari periode pertama. Pola komunikasi yang dibangun menteri atau pihak istana itu mohon maaf, acakadut (berantakan, amburadul, tak tertata, red), gak bagus,” sindirnya.
Dia menyarankan agar ada evaluasi internal antar menteri sehingga ke depannya para menteri bisa membangun komunikasi yang sinergis.
“Harusnya dievaluasi dong, agar mereka bisa membangun komunikasi politik, komunikasi publik yang bagus, sehingga antar kementerian tidak saling bantah, tegur,” tutupnya.
Sebelumnya diberitakan, perdebatan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar yang sudah terlanjur terjadi di ruang publik.
Keduanya berpolemik mengenai dana desa yang mengalir ke desa fiktif. Sri Mulyani yang mengungkap, Abdul Halim lantas membantah.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai bahwa perbedaan pandangan ini harus dipertanggungjawabkan ke publik.
“Jika dua pandangan yang berbeda tersebut ada kecocokan fakta, data dan bukti atau hanya yang berbeda dari sudut pandang saja, ini lebih mudah melakukan klarifikasi di ruang publik,” tegasnya dalam keterangan tertulisnya, Ahad (10/11).
Namun masalah menjadi runyam jika ditemukan ada perbedaan data, fakta dan bukti yang sangat signifikan. Dibutuhkan uji validitas secara menyeluruh terhadap sajian lontaran pernyataan dari dua menteri tersebut.
Jika hasilnya ditemukan bahwa fakta, data dan bukti yang bersumber dari dua menteri tersebut tidak valid, sejatinya kedua menteri tersebut harus minta maaf kepada publik sembari mengatakan tidak mengulang hal yang sama lagi ke depan.
Sementara jika ditemukan bahwa data mereka tidak benar-benar valid, maka yang kalah harus secara kesatria mengundurkan diri dari posisi menteri.
“Supaya tidak menjadi beban presiden di mata publik. Sebagai rujukan saja, pernah seorang menteri di Jepang harus turun dari jabatan karena salah ucapan,” pungkas Emrus.*
Sumber: rmol.id