Muslim Dunia Didesak Boikot Produk Cina karena Langgar HAM Uighur

Pada KTT di Malaysia, ulama berpengaruh mengatakan para pemimpin dari Dunia Islam harus lebih menekan Beijing.

MANUFAKTUR EKONOMI CINA: Foto ini diambil pada 23 Mei 2019, menunjukkan para pekerja memeriksa produk aerosol di sebuah pabrik Cina yang akan diekspor ke Brasil, Argentina, Chili, Mesir, India dan negara lainnya. Pabrik aerosol ini berlokasi di Dongyang, provinsi Zhejiang timur, Cina. (Foto: STR/AFP)

KUALA LUMPUR (SALAM-ONLINE): Negara-negara Muslim harus memulai memboikot produk-produk Cina, kata seorang ulama berpengaruh di Malaysia. Dia menyerukan diakhirinya penahanan dan penyiksaan terhadap etnis Uighur. Setidaknya satu juta di antaranya dilaporkan ditahan di provinsi Xinjiang, Cina.

Mohd Asri bin Zainul Abidin, ahli hukum Islam terkemuka di negara bagian Perlis Malaysia, mengatakan para pemimpin politik dari Dunia Islam harus melakukan lebih banyak tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap Beijing terkait perlakuan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap kelompok minoritas Muslim yang tinggal di bagian paling barat provinsi Xinjiang itu.

“Kita perlu melakukan boikot sampai di tingkat produk Cina. Mereka tahu kekuatan daya beli kita,” kata Mohd Asri kepada Al Jazeera di sela-sela pertemuan puncak negara-negara mayoritas Muslim di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, Jumat (20/12/2019).

“Keputusan harus diambil pada tingkat tertinggi negara-negara Muslim dan ulama untuk mengatasi masalah Uighur,” ujar Mohd Asri, yang sebelumnya mengatakan kepada peserta konferensi bahwa hampir dua miliar Muslim harus melenturkan otot ekonomi mereka untuk mempengaruhi kebijakan dunia.

“Kita harus melakukan sesuatu, karena mereka (Uighur) adalah saudara dan saudari kita,” tambahnya.

Sebagian besar negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah menjadi sasaran kritik oleh para pembela hak-hak Uighur atas “kebisuan” mereka dalam masalah penindasan Cina terhadap kelompok minoritas Muslim tersebut.

Nasib Uighur

Pada Juli 2019 lalu, lebih dari 20 negara memberikan suara untuk pertama kalinya pada sebuah resolusi sebelum Dewan Hak Asasi Manusia PBB menyerukan diakhirinya penahanan massal warga Uighur di Xinjiang.

Tetapi parahnya 14 negara anggota OKI malah bergabung dengan 23 negara lainnya dengan berpihak kepada Cina. Mereka memuji Cina melakukan “pencapaian luar biasa di bidang hak asasi manusia”.

Pada November lalu, Dolkun Isa, seorang pemimpin senior Uighur di pengasingan Eropa, mengatakan tidak ada alasan hening dan bisunya dunia terhadap penindasan ini. Dia juga meminta semua negara agar memutuskan hubungan perdagangan dengan Beijing.

Baca Juga

Pada Selasa (17/12), Charles Santiago, anggota Parlemen Malaysia untuk koalisi yang memerintah, mendesak para pemimpin di KTT Kuala Lumpur untuk mengangkat masalah Uighur.

Di antara negara-negara mayoritas Muslim, Malaysia adalah mitra dagang utama Cina pada 2018, dengan perkiraan ekspor $45,8 miliar, menurut Pusat Perdagangan Internasional di Jenewa.

Sementara itu, Cina mencatat ekspor senilai $ 76,9 miliar pada 2018 ke India, yang memiliki populasi minoritas Muslim sekitar 200 juta orang.

Menurut sebuah laporan PBB, diperkirakan ada satu juta warga Uighur yang ditahan di Xinjiang.

Namun, Randall Schriver, pejabat tinggi pertahanan AS yang bertanggung jawab atas Asia, mengatakan pada Mei lalu bahwa angka itu “kemungkinan mencapai tiga juta warga”—mewakili hampir sepertiga dari total 10 juta populasi Uighur.

Sementara aktivis dan kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Cina berusaha menghapus bahasa, budaya dan agama etnis Uighur. Cina juga disebut memaksa Muslim Uighur untuk melepaskan tradisi dan keyakinan Islam, seperti penggunaan jilbab di kalangan wanita dan jenggot di kalangan pria. Umat ​Islam juga dilarang berpuasa selama bulan Ramadhan.

Cina membantah bahwa warga Uighur ditahan atas kehendak rezim komunis tersebut. Beijing menggambarkan fasilitas (penahanan, red) itu sebagai “pusat pelatihan” atau kamp “pendidikan ulang” yang bertujuan melawan “ancaman teroris” dan “ekstremisme” di Xinjiang. Beijing juga menyangkal perlakuan buruk terhadap warga Uighur.

Muhamed Ljevakovic, seorang pembicara pada Kuala Lumpur Summit 2019 dari Bosnia-Herzegovina, mengatakan, sebagian besar negara yang berpartisipasi dalam KTT adalah “teman-teman Cina”, sehingga “tidak ada kesempatan” untuk menghadapi Beijing lebih kuat dalam masalah Uighur.

“Teman-teman seharusnya saling mengatakan yang sebenarnya. Teman-teman seharusnya mengatakan kepada mereka (pejabat-pejabat Cina) bahwa apa yang sedang terjadi saat ini tidak baik untuk Cina. Ini tentu saja tidak baik bagi Uighur. Tetapi orang-orang pada takut untuk berbicara mengeluarkan pikiran mereka,” katanya kepada Al Jazeera.

“Itulah sebabnya kami tidak menerima resolusi penuh di sini karena mereka secara diplomatis berusaha untuk tidak mengatakan apa pun.” (mus)

Sumber: Al Jazeera

Baca Juga