Ngotot Mengklaim Natuna Miliknya, Masih Anggap Cina Itu Baik?

Video capture KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Coast Guard Cina (CGC) saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin, 30 Desember 2019. KRI Tjiptadi-381 menghalau kapal CGC untuk menjaga kedaulatan wilayah dan keamanan di kawasan sekaligus menjaga stabilitas di wilayah perbatasaan. (ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I)

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE: Klaim Cina atas perairan Natuna telah dibuktikan dengan pengusiran nelayan Indonesia. Sementara nelayan Cina bebas berlayar mengambil ikan. Indonesia protes atas pelanggaran Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan pelanggaran oleh Coast Guard Cina. Sementara Cina mengabaikan protes Indonesia.

Sebenarnya perilaku klaim Cina ini telah juga menimbulkan kejengkelan Taiwan, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam dan Brunei mengenai antara lain sengketa kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Hal ini berkaitan dengan perebutan sumber minyak bumi, gas alam dan perikanan. Dengan sebutan Laut Cina Selatan maka RRC menyatakan kepemilikan wilayah laut berdasarkan historisnya.

Indonesia berkeyakinan perairan Kepulauan Natuna adalah milik kita yang diakui berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Akan tetapi juru bicara Menlu RRC Geng Shuang menyatakan dengan angkuh bahwa Indonesia terima atau tidak, Cina berhak di sana. Cina bersikukuh perairan berjarak 2000 Km dari daratan Cina ini adalah miliknya.

Dilema atau simalakama akan terasa akibat “pemimpin” Indonesia sedang bermesraan dengan RRC. Banyak lahan sedang ditawarkan untuk memfasilitasi kepentingan Cina melalui program “New Silk Road”. Jokowi sedang gencar-gencarnya menawarkan investasi dan mencari dana (hutang) ke Cina. Luhut sang Menko berbusa-busa meyakinkan rakyat bahwa Cina itu baik, bersahabat dan penolong bangsa. Tentu sebagian rakyat menyatakan “preet”.

Dua hal yang menyebabkan seperti makan buah simalakama. Pilihan sulit antara obat dan racun, yaitu:

Pertama, jika bermain waktu atau diplomasi yang berujung pada lepasnya perairan Natuna dari Indonesia dengan banyak kompensasi untuk pembangunan Indonesia, maka rezim selamat dari benturan kepentingan. Rencana program baik OBOR maupun pemindahan ibu kota berjalan mulus dan lancar. Persoalannya adalah rakyat akan menggugat serius atas penyerahan kedaulatan seperti ini. Jokowi menghadapi ancaman pemakzulan bahkan penghukuman.

Baca Juga

Kedua, jika bertahan dan berjuang untuk mengklaim kepemilikan Indonesia atas perairan Kepulauan Natuna, maka konflik akan berjalan panjang. Apalagi sampai kesiagaan perang. Terpaksa Indonesia harus menggandeng Amerika dan sekutunya karena Indonesia tak akan mampu menghadapi sendiri armada perang Cina yang cukup kuat.

Persoalannya, agenda kerja sama rezim dengan Cina sudah sangat dalam dan akan mengalami stagnasi atau mungkin pupus. Jokowi akan tertekan berat karena sejak awal “kebijakannya” memang cenderung “menghamba”.

Cina sedang bermanuver meneror Indonesia tentu dengan maksud tersembunyi. Yang nyata dan jelas Cina adalah negara radikalis dan teroris. Komunis itu bahaya dan jahat.

Bangsa dan rakyat Indonesia akan lebih senang menerima pilihan berkonflik dengan Cina karena sudah muak atau jengkel dengan perilaku Cina yang “menguasai” budaya, ekonomi dan politik di dalam negeri. Situasi api dalam sekam menemukan momentum jika terjadi konflik antarnegara. Natuna hanya pemicu.

 *) Pemerhati Politik

Bandung, 8 Jumadil Awwal 1441 H/4 Januari 2020 M

Baca Juga