SALAM-ONLINE: Para tokoh, Aktivis Kemanusiaan dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, menyampaikan Petisi Keprihatinan dan mengutuk dengan keras penindasan dan penahanan paksa kaum Uighur dalam Kamp Konsentrasi yang berkedok pendidikan vokasional yang dilakukan oleh rezim komunis Cina.
Dalam Petisi ini, Pemerintah RI, OKI dan PBB, dituntut untuk menghentikan penindasan terhadap kaum Uighur dan melakukan investigasi atas kejahatan kemanusiaan rezim komunis Cina.
Demikian disampaikan dalam Diskusi Publik ‘Kejahatan Kemanusiaan RRC atas Kaum Uighur: Fakta Penindasan, Geopolitik, Sikap Pemerintah RI dan Dunia Internasional’ yang diselenggarakan oleh Institute for Democracy Education (IDE) bekerja sama dengan Institute Soekarno-Hatta.
Diskusi yang berlangsung di Hotel Gren Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (16/1/2020) siang hingga sore itu menghadirkan narasumber Prof Dr Hafidz Abbas (Mantan Ketua Komnas HAM RI), Drs Djoko Edie Abdurrahman, SE, SH (Wakil Sekretaris LPBH PBNU), Dr Ahmad Yani, SH, MH (Politisi dan Akademisi), serta Dr Syahganda Nainggolan (Direktur Sabang-Merauke Circle Institute).
Sebelum diskusi dimulai, Chairman Institute Soekarno-Hatta, HM Taliwang, membacakan Petisi para tokoh, Aktivis Kemanusiaan dan organisasi masyarakat sipil Indonesia yang ditujukan kepada Presiden RI Joko Widodo, Sekjen OKI dan Sekjen PBB.
Dalam Petisi itu disebut, tindakan kejahatan yang dilakukan RRC atas kaum Uighur merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana tertuang dalam konvensi Internasional untuk HAM seperti Deklarasi Universal HAM, Konvensi untuk Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Konvensi Internasional akan Hak-hak Anak.
Represi Beijing terhadap etnis Uighur telah menimbulkan keprihatinan luas dan menjadi sesuatu yang mendesak untuk diperhatian secara serius oleh dunia internasional, demi dan atas nama kemanusiaan.
Pada Agustus 2018, Panel HAM PBB telah menerima laporan yang kredibel tentang penahanan ekstra legal di Xinjiang terhadap sekitar satu juta orang Uighur. Selain penahanan sepihak, kaum Uighur juga mengalami pembatasan ibadah dan indoktrinasi politik secara paksa dalam pengawasan masif pihak keamanan.
Penahanan terhadap warga Uighur di kamp konsentrasi sungguh memperihatinkan. Dungkapkan, paling tidak setiap satu dari 10 orang Uighur dilaporkan hilang dalam kamp-kamp konsentrasi.
Media Amerika New York Times juga melaporkan bocoran dokumen soal kamp penahanan etnis Uighur yang memuat perintah tegas Presiden Xi Jinping terhadap para pejabatnya untuk bertindak tanpa belas kasih terhadap warga Uighur.
Ancaman terhadap penahanan di kamp konsentrasi telah menjadi ketakutan yang melayang-Iayang di atas Iangit Xinjiang seperti awan hitam dan mencengkram pikiran setiap orang Uighur. Penahanan dan ketakutan telah menjadi fakta kehidupan sehari-hari yang tak dapat mereka hindari.
Kondisi ini kian memprihatinkan, tatkala Beijing dilaporkan telah mengubah demografi Xinjiang secara terus menerus dengan membanjiri etnis Han ke wilayah tersebut yang kini telah mencapai sekitar 70 persen dari total penduduk Xinjiang, menyisakan Uighur sebagai kelompok minoritas.
Sementara itu, permintaan Ketua Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, pada 10 September 2018, kepada Beijing untuk memberikan akses kepada Pengawas HAM PBB guna melakukan investigasi situasi, sampai saat ini ditolak oleh Beijing tanpa alasan yang jelas.
HaI-hal di atas menjadikan kekhawatiran serius akan adanya praktik pembantaian dan pemusnahan etnis Uighur, serta diadopsinya terorisme negara oleh rezim komunis Cina terhadap kaum Uighur.
Setidaknya, sudah 30 negara yang mengecam tindakan persekusi rezim komunis Cina terhadap Uighur. Negara-negara tersebut menyampaikan pernyataan di seIa-sela sidang Majelis Umum PBB pada 26 September 2019.
“lndonesia, sebagai negara anggota berbagai badan kerja sama regional dan internasional, termasuk anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, tidak sepatutnya bersikap abai, apatis dan diam terhadap kejahatan kemanusiaan rezim komunis RRC atas etnis Uighur,” kata M Hatta Taliwang.
Hal ini bukan hanya karena Indonesia telah ikut menandatangani dan meratifikasi pelbagai konvensi internasional tersebut di atas, tetapi juga karena sesuai dengan mandat UUD 1945 untuk ikut serta menciptakan perdamaian dunia dan mengedepankan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
“Kami percaya bahwa setiap individu di muka bumi memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk terus mengkhitiarkan terwujudnya dunia yang lebih baik, jauh dari kekerasan, welas kasih, toleransi dan saling menghormati antar sesama manusia terlepas dari latar belakang ras, etnis, agama, status sosial dan pendidikan serta orientasi politik,” tegasnya.
Karena itu, sebagai bagian dari masyarakat dunia dan warga di negara yang merdeka dan berdaulat, juga menjunjung tinggi HAM dan keberagaman, para tokoh, Aktivis Kemanusiaan dan organisasi masyarakat sipil, mendesak dan mendukung sepenuhnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), serta organisasi internasional dan regional Iainnya, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan ASEAN, untuk menekan rezim komunis RRC agar menghentikan penangkapan, persekusi dan represi serta segala bentuk pelanggaran HAM Iainnya, dan membebaskan tanpa syarat seluruh kaum Uighur yang sedang ditahan di Kamp Konsentrasi di Provinsi Xinjiang, Cina.
Petisi juga mendesak dikembalikannya hak-hak sipil warga Uighur, terutama hak untuk menjaga keutuhan keluarga dan hak akan jaminan perlindungan atas tindakan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam seluruh konvensi internasional seperti disebut di atas.
Selanjutnya, mendesak PBB untuk segera membentuk Tim Investigasi Independen terhadap kejahatan kemanusiaan atas masyarakat Uighur.
“Kami juga menuntut Pemerintah Indonesia, bersama-sama dengan negara-negara lainnya untuk mengecam keras dan mendesak penghentian tindakan represif rezim komunis Cina terhadap kaum Uighur.”
Selain itu, juga menuntut Pemerintah Indonesia untuk ikut secara aktif menyelesaikan prob|em kemanusiaan tersebut, melalui kerangka kerjasama regiona| seperti ASEAN dan OKl serta ikut mendesakkan agenda pembentukan Tim Investigasi Independen terhadap kejahatan kemanusiaaan rezim komunis Cina atas etnis Uighur di sidang-sidang PBB. (mus)