Muhammadiyah: Masukkan Trisila & Ekasila, RUU HIP Abaikan Piagam Jakarta

SALAM-ONLINE: Sejumlah tokoh dan ormas menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) untuk dibahas bersama pemerintah karena dinilai mengandung muatan komunis. RUU yang disebut sebagai Inisiatif DPR RI itu membuat gaduh kehidupan politik dan hukum di Indonesia di tengah pandemi Covid-19 yang kasusnya masih melonjak.

RUU HIP ini mendapat penolakan luas disertai demo di berbagai daerah. Aksi-aksi anti PKI pun kembali merebak. Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah adalah di antara ormas yang menyatakan sikap tegasnya menolak rencana DPR untuk membahas RUU tersebut.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti, mengatakan, pihaknya telah melakukan pengkajian terhadap naskah RUU HIP. Hasilnya, RUU ini bertentangan dengan sejumlah aturan perundangan dan dapat mendegradasi Pancasila sebagai dasar negara. Maka dari itu, ia secara tegas meminta DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP.

Tidak hanya masalah tidak dimasukkannya TAP MPRS No 25 Tahun 1966 yang melarang paham Komunis dan Marxisme-Leninisme di republik ini. Semua isi RUU HIP itu bermasalah. Jangankan isinya. Dibuatnya RUU itu sendiri sudah bermasalah, lantaran Pancasila tidak perlu diundangkan. Keddudukannya sudah kuat dalam UUD 1945.

Jika diundangkan, derajatnya jadi turun. Apalagi kemudian memasukkan Trisila dan Ekasila dan “Ketuhanan yang Berkebudayaan” yang hanya berupa usulan Soekarno yang ditolak dan tak pernah disepakati. Mestinya yang lebih layak adalah Piagam Jakarta yang sudah disepakati dan ditandatangani oleh semua golongan, termasuk Soekarno sendiri dan kalangan nasionalis sekuler lainnya serta kelompok Kristen dari Indonesia Timur.

“Memasukkan Trisila dan Ekasila maupun ‘Ketuhanan yang berkebudayaan’ ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya No 62, Jakarta Pusat, Senin (15/6/20).

Baca Juga

Ia mengingatkan, kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun “Ketuhanan yang berkebudayaan” dimasukkan dengan alasan historis. Padahal Tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, kata Abdul Mu’ti, juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama. Dan kedudukannya lebih kuat dibanding Trisila dan Ekasila yang tidak pernah disepakati, apalagi ditandatangani.

“Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7). Selain itu terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang lainnya, termasuk yang mempersempit dan mengenyampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

PP Muhammadiyah menilai, materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal tersebut juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal 5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Abdul Mu’ti juga mengingatkan, RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembahasan dipaksakan untuk dilanjutkan berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif dan membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa.

“Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya. Tujuan Undang-undang adalah untuk menciptakan tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan dan kepastian bagi setiap warga negara, bukan sebaliknya,” tegasnya. (mus)

Baca Juga