SALAM-ONLINE: Tempo.co dan Tirto.id, dua media daring yang mengalami peretasan dan perusakan situsweb pada Jumat, 21 Agustus 2020, telah bersama-sama melapor ke KepolisianDaerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) pada Selasa (25/8/20).
Pelaporan dilakukan di SPKT Polda Metro Jaya. Saat melaporkan, kedua media ini didampingi oleh LBH Pers, YLBHI dan SAFEnet.
“Sebagaimana orang yang rumahnya dibobol oleh maling, saya merasa Tirto.id yang tercatat adalah milik saya, telah diobrak-abrik oleh maling dan sebagaimana warga negara yang baik, saya melaporkan ke kepolisian untuk segera mengusut dan menemukan siapa pelaku kriminal yang sudah masuk ke Tirto.id dan merusak artikel-artikel yang ada di dalamnya,” kata pemimpin redaksi Tirto.id, Atmaji Sapto Anggoro, sebelum dipanggil petugas SPKT PMJ.
Sapto Anggoro dipanggil pertama untuk didengar laporannya. Laporan Tirto.id telah terdaftar dengan Nomor Laporan LP/5.035/VIII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ. Dia melaporkan kepada polisi bahwa ada yang meretas akun email editor Tirto.id, lalu masuk ke sistem manajemen konten dan menghapus 7 artikel Tirto.id. Termasuk artikel yang kritis tentang klaim obat Corona.
Sapto yang didampingi oleh penasihat hukum menduga bahwa pelaku telah melanggar aturan hukum yang telah diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Pers. Dalam pasal itu tertulis bahwa orang yang menghambat dan menghalangi kerja wartawan dapat dipidana.
Bunyi lengkap pasal tersebut sebagai berikut: “Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).”
Selain itu dalam laporan juga disebutkan ada dugaan pelanggaran pidana sesuai Pasal 32 ayat 1 UU ITE yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.”
Adapun hukuman untuk pelanggar Pasal 32 ayat 1 di atas, dijelaskan pada Pasal 48. Bunyinya: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Sedangkan pelaporan Tempo.co dilakukan oleh Setri Yasra selaku Chief Editor Tempo.co. Ia dipanggil tidak lama menyusul Tirto.id. Laporannya telah terdaftar dengan Nomor Laporan LP/5037/VIII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ.
Dalam pengaduannya, Setri Yasra melaporkan bahwa situs Tempo.co tidak bisa diakses pada 21 Agustus 2020 pukul 00.00 WIB. Kemudian peretas merusak tampilan halaman Tempo.co dan muncul tulisan: “Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok.”
Laporan disertai dengan keterangan kronologi yang dialami oleh Tempo. Atas kejadian ini, Tempo mengalami kerugian imaterial dan material. Karena itu, Tempo melaporkannya ke polisi atas dugaan adanya tindak pelanggaran hukum berdasar Pasal 18 ayat 1 UU Pers dan Pasal 32 ayat 1 UU ITE.
Pelaporan ke kepolisian berjalan lancar. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, SHI selaku salah satu penasihat hukum bagi kedua media itu menyatakan bahwa pelaporan ini adalah langkah awal dari upaya mengungkap siapa pelaku peretasan. Pelaporan ini juga dimaksudkan untuk menegakkan hukum secara adil dan sebagai upaya melindungi kebebasan pers di Indonesia.
“Dengan pengaduan ke polisi ini, kami berharap kepolisian bisa bergerak cepat melakukan penyelidikan, menelusuri bukti-bukti untuk menemukan dan sekaligus memproses hukum pelaku kriminal yang telah meretas dan merusak media-media,” ujar Ade Wahyudin.
Sekalipun pada Selasa, 25 Agustus 2020, itu hanya ada dua media yang hadir melaporkan, tetapi sebenarnya yang mengalami peretasan dan perusakan lebih dari ini. Dan itu belum terhitung jumlah jurnalis, aktivis, yang karena kritis dan vokal, harus mengalami peretasan, doxing, hingga ancaman yang merusak sendi-sendi demokrasi dan kebebasan pers.
“Karena itu, kami ingin kepolisian serius menanggapi laporan klien kami untuk membuktikan bahwa Negara hadir melindungi hak-hak warganya,” pungkas Ade Wahyudin. [rilis]