Kecewa Ucapan Puan, Paslon Cagub Sumbar Kembalikan SK Dukungan PDIP

Ketua DPP PDIP Puan Maharani saat mengumumkan calon kepala daerah yang diusung PDIP (Foto: Dokumentasi DPP PDIP)

SALAM-ONLINE.COM: Pasangan bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Ir. H. Mulyadi–Drs H. Ali Mukhni mengembalikan surat dukungan dari PDIP. Hal ini menyusul komentar kontroversi yang dilontarkan ketua DPP PDIP, Puan Maharani,  terkait Pancasila dan Provinsi Ranah Minang tersebut.

“Ya tadi kami sudah sepakati bersama pak Mulyadi, kita mengembalikan SK dukungan dari PDIP, jadi Mulyadi–Ali Mukhni hanya diusung oleh Demokrat dan PAN,” kata Ali Mukhni, saat dihubungi media, Jumat (4/9/20) malam.

Ali Mukhni mengakui langkah ini diambil karena banyaknya desakan dari masyarakat Sumbar, baik yang di ranah maupun yang di rantau yang merasa kecewa dengan pernyataan Puan Maharani.

“Memang banyak tokoh masyarakat Minang yang telpon saya menyampaikan kekecewaan terhadap penyataan Mbak Puan,” terangnya.

Kabar pengembalian dukungan dari PDIP ini juga dikonfirmasi oleh Deputi Isu dan Narasi Badan Komunikasi Stategis DPP Partai Demokrat, Cipta Panca Laksana.

“Saya tadi baru telponan dengan Cagub Sumbar @irhmulyadi dan saya sarankan untuk mengembalikan dukungan dari PDIP. Prinsipnya dia setuju dengan saran saya,” tulis Panca di akun Twitternya, Jumat (4/9).

Pengembalian SK ini disambut positif masyarakat Sumbar. Rizal, salah seorang warga Pariaman menilai langkah itu sangat bijak.

“Bagus sekali, ini menandakan Mulyadi–Ali Mukhni mau mendengar aspirasi masyarakat dan berpihak kepada warga Minang,” ujar Rizal di salah satu kedai kopi di kawasan Cimparuh, Pariaman.

Dengan dikembalikannya SK dari PDIP, maka pasangan Mulyadi–Ali Mukhni hanya diusung oleh dua partai politik, yaitu Demokrat dan PAN yang sama sama memiliki 10 kursi di DPRD Sumbar. Jumlah tersebut sudah memenuhi syarat untuk mengusung pasangan calon yang mensyaratkan minimal 13 kursi DPRD Sumbar.

Paslon Cagub-cawagub Sumbar Ir Mulyadi dan Drs Ali Mukhni mengembali SK Dukungan dari PDIP karena ucapan Ketua DPP PDIP Puan Maharani dinilai mengecewakan rakyat Ranah Minang

Sebelumnya, pernyataan Puan terkait Sumbar menuai kontroversi. Pernyataan itu dia sampaikan saat menyerahkan SK (surat keputusan) dukungan PDIP kepada pasangan Mulyadi-Ali Mukhni, Rabu (2/9) lalu.

Pernyataan Puan yang dimaksud adalah, “Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila.”

Pernyataan itu dinilai oleh berbagai kalangan seakan selama ini provinsi Sumbar tidak mendukung Pancasila. Entah Pancasila yang mana yang dimaksud Puan? Ada pengamat yang menyebut mungkin yang dimaksud adalah “Pancasila” 1 Juni versi Soekarno, yang sebelumnya bernama Trisila dan Ekasila, sebagaimana terdapat dalam AD/ART PDIP yang memuat semangat memperjuangkan Pancasila 1 Juni 1945. Mukadimah dan Pasal 6 Anggaran dasar PDIP menggambarkan ideologi utama partai ini, yakni Pancasila 1 Juni 1945, ditambah dengan sila-sila Trisila dan Ekasila.

Selama ini, sejak zaman penjajahan dan era perjuangan kemerdekaan, rakyat dan tokoh-tokoh Sumbar sangat berperan dan menerima Pancasila versi Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang sah ditandatangani, termasuk oleh Soekarno-Hatta. Tetapi kemudian Pancasila versi Piagam Jakarta itu disempurnakan menjadi Pancasila 18 Agustus 1945. Jadi, betul, memang, bukan Pancasila pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 (yang tidak disepakati) itu yang didukung rakyat Sumbar.

Di era perjuangan kemerdekaan dan di awal-awal kemerdekaan justru banyak tokoh asal Ranah Minang yang sangat berperan. Bahkan salah seorang Proklamator Kemerdekaan Indonesia bearasal dari Sumbar, yaitu Mohammad Hatta (Bung Hatta) yang kemudian menjadi Wakil Presiden era proklamasi.

Selain itu tokoh-tokoh Sumbar lainnya yang sangat berperan di era kemerdekaan adalah seperti Mohammad Natsir, Agus Salim, Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya. Bahkan Sjafruddin Prawira Negara memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat penjajah Belanda kembali menguasai ibu kota RI di Yogya.

Pemerintahan RI yang saat itu beribu kota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat agresi militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Lantaran itu pada 22 Desember 1948-13 Juli 1949, salah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan asal Sumbar, Mr Sjafruddin Prawiranegara, mengambil alih pemerintahan dengan nama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang beribukota di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Sjafruddin Prawiranegara menjadi Presiden PDRI dengan memimpin Kabinet Darurat untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih ada. Meskipun Soekarno-Hatta ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948. Namun Soekarno-Hatta sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara, di Bukittinggi.

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat berkumpul di Halaban. Pada 22 Desember 1948 mereka menggelar rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A, Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif.

Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tapi dalam rapat 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, diputuskanlah untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:

  • Sjafruddin Prawiranegara, Presiden/Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim
  • T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
  • Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
  • Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
  • Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
  • Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.
Baca Juga

Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Presiden PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkan bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir Sungai Batanghari dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Sjafruddin membalas, “Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.

Tokoh Minang lainnya yang sangat besar jasanya bagi bangsa ini adalah Dr Mohammad Natsir. Apalah jadinya Indonesia saat ini, jika tidak ada Mosi Integral yang diajukan oleh ulama kharismatik yang juga Ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Ketika itu, Indonesia baru saja usai menghadapi Belanda dalam peperangan Kemerdekaan selama empat tahun, 1945 hingga perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, di Den Haag, Belanda. Hasil KMB itu justru merugikan Indonesia.

Isi perjanjian KMB yang berlangsung dari 23 Agustus-2 November 1949 itu menghasilkan empat keputusan: (1) Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat (RIS) setuju membentuk Uni yang longgar antara Negeri Belanda dan RIS dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis, (2) Sukarno dan Mohammad Hatta akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, dan antara 1949-1950. Hatta akan merangkap menjadi Perdana Menteri RIS. (3) Belanda masih akan mempertahankan Irian Barat (sekarang Papua) dan tidak ikut dalam RIS hingga ada perundingan lebih lanjut, (4) Pemerintah RIS harus menanggung utang pemerintah Hindia-Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden akibat pertempuran selama 1945-1949.

Jelas dengan butir-butir perjanjian tersebut membuat Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 1945, di ambang kehancuran dan kepunahan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi bagian dari RIS, bersama dengan BFO bentukan Belanda pimpinan Sultan Hamid II, dari Pontianak, Kalimantan Barat.

Bung Hatta, ketika itu menjadi Perdana Menteri (PM) RIS dan Bung Karno, Presiden RIS. Mereka berdua hanya bisa membiarkan saja kondisi tersebut. Namun, hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja oleh Mohammad Natsir yang akrab disapa dengan panggilan Buya Natsir serta H Agus Salim.

Keduanya, Buya Natsir dan H Agus Salim yang sama-sama orang Minang menolak masuk dalam Kabinet RIS dengan Perdana Menterinya Bung Hatta dan Presiden Bung Karno. Mulailah penolakan akan hasil KMB itu bergejolak di daerah-daerah. Pada 4 Januari 1950, DPRD Malang di Negara Bagian Jawa Timur mencetuskan resolusi melepaskan diri dari Negara Jawa Timur, memlih bergabung dengan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta.

Keputusan DPRD Malang ini diikuti oleh DPRD Kabupaten Sukabumi dari Negara Bagian Pasundan, yang juga mengeluarkan resolusi yang sama, keluar dari Negara Pasundan dan bergabung ke Negara RI, pada 30 Januari 1950. Selain dua resolusi itu, di banyak daerah telah muncul suara-suara bergabung dengan Negara RI. Malah di Negara Bagian Sumatera Timur, demonstrasi besar menolak RIS menyebabkan polisi harus bertindak menertibkan demo.

Melihat gejolak seperti itu, Buya Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi di DPR-RIS mengambil inisiatif. Ia bertukar pikiran dengan para ketua fraksi guna mengetahui apa yang hidup di parlemen. Ia menjalin komunikasi dengan pemimpin fraksi sangat kiri, Ir Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sangat kanan dengan Sahetapy Engel wakil dari BFO.

Selain itu, Buya Natsir juga diberi tugas oleh Bung Hatta, sebagai Perdana Menteri RIS, bersama Sri Sultan Hamengkubuwono IX, untuk melakukan lobi-lobi guna menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir.

Kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, Republik Indonesia, bagian dari RIS, asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah diformulasikannya dalam dua kata ”Mosi Integral”. Natsir menyampaikan Mosinya ini ke Parlemen pada 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah. PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

‘Mosi Integral Natsir’ yang mempersatukan Indonesia dari negara Federal Republik Indonesia Serikat (RIS), menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah karena jasa seorang Ulama Umat Islam. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam sangatlah mencintai negaranya. NKRI lahir dari jasa seorang Ulama yang kemudian menjadi Perdana Menteri Republik ini.

Apalagi saat melakukan ‘Mosi Integral’, Mohammad Natsir adalah ketua Fraksi Partai Masjumi yang notabene adalah partai Islam terbesar. Tentunya, apa yang disuarakan Mohammad Natsir adalah representatif umat Islam kebanyakan kala itu.

“Indonesia (atas kehendak Allah) diselamatkan oleh tokoh-tokoh umat Islam. Karenanya jangan ada Islamofobia,” kata Wakil Ketua MPR Dr Hidayat Nurwahid dalam acara Diskusi Publik Memperingati ‘Mosi Integral Natsir’ ke-68 pada 3 April yang diselenggarakan Fraksi PKS DPR RI.

Sebelum ‘Mosi Integral Natsir’ lahir, Irian Barat tidaklah masuk ke dalam RIS. Hidayat pun berseloroh bahwa jika tidak ada ‘Mosi Integral Natsir’, akan tidak ada lagu kebangsaan “Dari Sabang Sampai Merauke”.

“(Jika tak ada ‘Mosi Integral Natsir’), lagu itu tidak bisa diperdengarkan lagi. Sampai Maluku saja,” seloroh Hidayat.

Lantas, kenapa ada ucapan yang mengecilkan orang-orang Minang yang sangat setia dengan Pancasila yang asli. Seakan hanya yang mengucapkan itu yang paling Pancasilais? Bahkan tokoh dan Ulama Minanglah yang memperjuangkan lahirnya NKRI. Jika tak ada perolongan Allah melalui Buya Natsir dengan Mosi Integralnya, apakah ada NKRI? Jadi siapa yang paling Pancasilais dan NKRI? Jangan pernah melupakan sejarah!

Sumber: mimbarsumbar.id, wikipedia, salam-online, riauonline

Baca Juga