Tinjauan Buku: Bau Amis Komunis

Judul Buku: Bau Amis Komunis, Penulis: M. Rizal Fadillah, Penerbit: Lekkas Bandung, Tahun: 2020, Jumlah Halaman: 152

Catatan Imanuddin Kamil*

SALAM-ONLINE.COM: Menjelang 30 September setiap tahunnya, ingatan jarum waktu selalu membawa bangsa Indonesia pada sejarah kelam 55 tahun silam.

Peristiwa berdarah yang lebih sering disebut sebagai gerakan 30 September PKI atau G-30S-PKI. Dan seiring dengan kenangan memori pahit tersebut, seruan kewaspadaan pada kebangkitan PKI pun terus menggema.

Peringatan kewaspadaan bahaya PKI yang diteriakkan orang-orang peduli pada nasib bangsa tentu tidaklah berlebihan, jika melihat fakta dan indikasi kasat mata bangkitnya paham berbahaya itu akhir-akhir ini. Dalam bahasa pemerhati politik M Rizal Fadillah, indikasi kebangkitan itu diungkapkan dalam diksi kalimat “Bau Amis Komunis”.

Demikianlah judul buku terbaru karya M Rizal Fadillah, SH. Seorang pemerhati politik, aktivis da’wah, praktisi hukum yang tulisannya belakangan ini hampir setiap hari meramaikan jagat media cetak maupun online.

Penulis memilih diksi bau amis—sebagaimana diakuinya pada beberapa kegiatan bedah bukunya—untuk menunjukkan pada dua hal. Pertama, bau amis dimaksudkan pada bau amis darah. Dan hal ini hendak mengingatkan pada sepak terjang komunis yang memang gemar melakukan pemberontakan berdarah.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, tercatat peristiwa kelam berdarah tahun 1948 di Madiun yang diotaki tokoh PKI Musso. Dan tahun 1965 pada peristiwa gerakan 30 September PKI yang saat itu dipimpin DN, Aidit penerus Musso.

Sedangkan bau amis yang kedua menunjuk pada bau amis yang menempel pada benda (gelas, piring) yang dibersihkan secara serampangan. Biasanya piring atau gelas yang tidak dibersihkan dengan baik, banyak meninggalkan sisa kotoran yang dapat menimbulkan bau amis.

Situasi saat ini dikaitkan dengan isu kebangkitan PKI dalam pandangan penulis melalui bukunya ini menunjuk pada kedua makna itu sekaligus. Artinya pilihan diksi bau amis pada kata komunis memberi pesan warning kepada bangsa Indonesia. Agar selalu mengingat sejarah kelam kebiadaban PKI supaya senantiasa waspada akan ancaman PKI yang sifat dasarnya menghalalkan segala cara dan gemar menumpahkan darah.

Juga membawa pesan agar bangsa Indonesia waspada terhadap fenomena-fenomena dan indikasi kebangkitan PKI yang aromanya sudah mulai merebak dan sulit disembunyikan. “PKI benar telah dibubarkan bahkan terlarang, akan tetapi kader-kader yang bergerak memperjuangkan paham komunisme diindikasikan bukan hanya ada tetapi semakin banyak dan berani,” (Pengantar Penulis, hal. v).

Bau amis komunis tercium pada konfigurasi dan polarisasi sosio-kultural dan isu-isu politik yang merebak di tengah masyarakat. Istilah dan slogan lama muncul kembali: kadrun, kodok (cebong) peking, kerja, gotong royong serta justifikasi pembelahan masyarakat yang berlindung di balik Pancasila melalui diksi: Saya Pancasila, Anda Anti Pancasila.

Di level pemerintahan, bau amis juga sulit disembunyikan, jika mencermati kebijakan-kebijakan yang terkesan pro dan seolah memihak pada kekuatan berbau komunis. Termasuk di rumah wakil rakyat yang terhormat. Di gedung parlemen yang menghimpun para wakil rakyat itu, bau amis komunis semakin menyengat dengan munculnya produk undang-undang berideologi komunis.

Untuk yang terakhir ini, bau amis komunis yang disinyalir penulis merupakan indikasi kuat bangkitnya ideologi PKI adalah lahirnya RUU HIP yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP. Bagi penulis RUU ini sulit dibantah sebagai rancangan undang-undang yang bebas dari intervensi dan infiltrasi ideologi komunis. Sebaliknya sangat kental dengan pikiran dan narasi komunis di dalamnya (hal. 1-3).

Menurut penulis, paling tidak ada tiga hal mencolok dari kisruh RUU ini. Pertama, kengototan para anggota parlemen (khususnya partai tertentu) yang tidak mau mencantumkan Tap MPRS XXV /MPRS/1966. Kedua, muncul pasal tentang Pancasila rumusan 1 Juni 1945 yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Ketiga, agama dan nilai-nilai ketuhanan yang dikerdilkan dan sila keadilan sosial yang bersifat materialistik menempati posisi dominan. (Pengantar Penulis, hal. vi).

Baca Juga

Melalui buku yang dilaunching sejak awal September lalu, penulis kemudian membedah lebih dalam substansi dari RUU HIP ini secara komprehensif dengan analisis dan kajian kritis yang tajam. Ada 51 judul artikel yang dihimpun dalam buku setebal 152 halaman ini, yang semuanya terkait dan terfokus pada RUU yang menghebohkan itu.

Dan yang menarik seluruh artikel yang ada pada buku tersebut adalah tulisan segar yang ditulis pada saat ramainya umat membincangkan kontroversi RUU HIP ini, yang kemudian memaksa MUI dan ormas-ormas Islam bersuara keras menentangnya. Di hari-hari itulah tulisan-tulisan yang dirangkum buku ini dibuat. Kurang lebih dalam rentang waktu bulan Mei sampai Agustus 2020.

Secara tematik, artikel pada buku ini dapat dikategorikan pada empat sub. Pertama membahas soal substansi RUU HIP yang dikritisi dan dikuliti secara tajam oleh penulis. Beberapa judul artikel yang mewakili sub tema ini misalnya: Bahaya Orla Pada RUU Haluan Ideologi Pancasila, Membunuh Pancasila, BPIP Miskin Khazanah, RUU HIP Rawan Bagi Perpecahan Bangsa, Manipulasi dan Bahaya “Gotong Royong”, Gerombolan Trisila dan Ekasila, RUU BPIP tak Bisa Lepas Pancasila 1 Juni 1945, Penyelamatan Pancasila 18 Agustus 1945.

Kedua, kategori kritik terhadap DPR RI dan parpol yang tertunduk lesu tidak berdaya. Judul-judul yang masuk sub ini misalnya: Idealisme PKI menyusup di DPR RI, RUU HIP Dosa Politik PDIP, Kembalilah ke Jalan yang Benar (kritik untuk parpol nasionalis), RUU HIP Pahala Politik PKS, Partai Keumatan Jangan Lemah (kritik untuk parpol berbasis Islam), DPR Menyerahlah, DPR Itu Bukan Dewan Perwakilan Rezim, PDIP di Persimpangan Jalan.

Ketiga, porsi sub bagian ini mencermati kinerja pemerintah terutama soal sikapnya terhadap RUU. Kategori ini bisa ditemukan pada artikel-artikel dengan judul berikut; Kebijakan Inkonsisten, Jangan Terjebak Isu Reshuffle, Tolak RUU Pengganti dan Bubarkan BPIP, Siapa Tonjok Jokowi, Pemerintahan Preman, Pemerintah yang Bandel.

Keempat, yaitu artikel yang dikategorikan sebagai tulisan berbasis keumatan dan support terhadap MUI yang telah bereaksi secara lantang dan sangat signifikan dalam kasus RUU ini. Artikel yang merepresentasikan tema ini di antaranya: Front Anti Komunis Harus Dibentuk Kembali, Umat Islam Menghadapi Bangkitnya PKI, Dukung Ultimatum MUI, Memancing untuk Kembali ke Piagam Jakarta, Blessing In Disguise, MUI Lokomotif Perjuangan Umat, Lawan Neo PKI dan Komunisme, Tahdzir MUI Ditunggu Umat.

Demikianlah isi buku dikategorikan sesuai dengan temanya. Adapun secara urutan, buku ini disusun berdasarkan waktu penulisannya, mungkin mirip semacam diary. Sebuah catatan harian seorang pemerhati politik dan aktivis dakwah terhadap carut marut dan hiruk pikuk perpolitikan jagat negeri.

Diawali artikel pertama berjudul “Bahaya Orla Pada RUU Haluan Ideologi Pancasila”, yang ditulis pada 3 Mei 2020. Kemudian ditutup dengan artikel ke-51 dengan judul “Jangan Lengah, Komunis Masih Merayap”, ditulis pada 14 Agustus 2020.

Jadi, kurang lebih selama 3 bulan setengah, penulis mengoleksi pikiran-pikiran tajamnya merespons kontroversi RUU blunder dan membahayakan ini.

Satu kabar menggembirakan bagi penikmat bukunya, bahwa karya ini adalah bagian pertama dari pentalogi (5 karya seri buku) yang sudah diproyeksikan penulis untuk diterbitkan. Jadi masih ada 4 karya berikutnya yang tengah menunggu giliran terbit.

Demikian seperti yang sering disampaikan penulis di beberapa kesempatan bedah buku yang digelar (di Universitas Muhamadiyah Sukabumi, juga saat di Mesjid DUI Lampu Iman Karawang). Keempat buku yang tengah dipersiapkannya itu adalah: Politik Licik, Bloody Hand, Saatnya Mundur dan Ruwet…Ruwet…Ruwet.

Nah, sebelum karya-karya lainnya hadir, pastikan dulu buku “Bau Amis Komunis” ini sudah Anda miliki terlebih dahulu. Supaya koleksi karya pentalogi penulis tidak ada yang terlewatkan. Dan yang lebih penting lagi, agar Anda tidak ketinggalan informasi-informasi mencerahkan yang akan menggugah alam sadar Anda, bahwa neo komunis bangkit bukanlah sekadar isapan jempol belaka.

*Ketua Dewan Da’wah Karawang, Jawa Barat

Baca Juga