Tragedi Berdarah 21-22 Mei Jangan Dilupakan

Tragedi berdarah pada peristiwa demonstrasi penolakan hasil Pilpres di depan Gedung Bawaslu pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019 yang menewaskan 8 demonstran. (Foto: Suaramuslim.net)

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE.COM: Saat kita mengingat tragedi berdarah September 1965 akibat aksi percobaan kudeta PKI yang menjadi “habitat” penumpahan darahnya, maka dalam masa Pemerintahan Joko Widodo kita juga jangan lupakan peristiwa berdarah lainnya yang berawal dari sebuah unjuk rasa. Melengkapi fenomena kematian 700 petugas Pemilu 2019. Jumlah spektakuler yang tak terungkap penyebabnya. X Files.

Peristiwa itu adalah demonstrasi penolakan hasil Pilpres di depan Gedung Bawaslu pada 21 dan 22 Mei 2019. Sekurangnya 8 orang tewas. Sebagian diterjang peluru “penembak misterius”. Di antaranya anak-anak remaja. Penyiksaan dan pengeroyokan sadis oleh aparat terjadi.

Setidaknya 10 Polisi diperiksa akibat kerusuhan dan hanya dikenai sanksi hukum disiplin. Para pegiat kemanusiaan mengindikasi terjadinya pelanggaran HAM berat pada peristiwa tragis ini.

Pengunjuk rasa kecewa atas kecurangan Pilpres yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Oleh karenanya aksi dilakukan di depan Bawaslu. Tuntutan pembentukan tim independen “fact finding” tidak dipenuhi. Kapolri Tito Karniawan hanya membentuk tim internal Polri.

Tindakan brutal Brimob Polri dipicu adanya “kelompok preman” yang hingga kini tidak jelas buatan siapa. Tuduhan terarah pada pihak ketiga atau Polisi sendiri.

Di panggung orasi muncul para tokoh seperti Amien Rais, Kivlan Zen, Eggi Sudjana, Neno Warisman dan lainnya. Mereka mengungkap ketidakadilan dan kecurangan nyata Pilpres. Anehnya Prabowo yang menjadi figur yang dibela oleh pendukungnya, tidak muncul.

Baca Juga

Belakangan Prabowo justru mengambil langkah mengecewakan dengan bersedia menjadi Menterinya Joko Widodo, Presiden yang justru dituduh memenangkan pemilihan dengan cara curang.

Keberadaan kelompok preman misterius dan tindakan brutal aparat yang mengakibatkan tewasnya pengunjuk rasa hingga kini dinilai belum tuntas. Menjadi tabungan kasus dari Pemerintahan Joko Widodo. Alih-alih Kapolri atau Kapolda Metro saat itu yang diperiksa atau bertanggungjawab, justru “lawan-lawan politik” yang kemudian menjadi pesakitan seperti Kivlan Zen, Eggi Sujana hingga mantan Danjen Kopassus Soenarko.

Kematian sekitar 700-an petugas Pemilu 2019 tentu saja bukan jumlah yang sedikit, itu angka yang spektakuler, tapi tak terungkap penyebab sesungguhnya, sebagaimana tak jelasnya siapa yang bertanggung jawab kematian 8 orang pengunjuk rasa saat aksi memprotes hasil pemilu/pilpres di depan Gedung Bawaslu yang berakhir rusuh, sehingga Para aktivis kemanusiaan mengindikasikan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat. 

Imbauan agar pada tanggal 30 September masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang adalah pengingat atas sejarah kelam bangsa. Namun kita pun tidak boleh melupakan sejarah kelam Pemerintahan Joko Widodo pada 21-22 Mei yang menyebabkan melayangnya nyawa orang-orang tak bersalah akibat ulah cara kerja yang tak berbeda dengan PKI di masa lalu.

Pelanggaran HAM berat harus diusut tuntas sekarang atau nanti. Jejak kaki berdarah tak boleh menguap tanpa bekas. PKI dan gaya bertindaknya tetap hidup dalam cara pandang pejuang ideologi yang abai atas nilai moral dan agama.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 7 Safar 1442 H/25 September 2020 M

Baca Juga