Digelar, Webinar Bahas Islamofobia di Eropa
SALAM-ONLINE.COM: Dalam rangka Bulan Kesadaran Islamofobia, sebuah webinar (online) yang membahas Akar dan Konteks Islamlofobia Global digelar pada Kamis (26/11/2020) di London, dilansir oleh Kantor Berita Anadolu, Jumat (27/11/20).
Webinar bertajuk “Global Islamophobia: Roots, Context and Deconstruction” itu diselenggarakan oleh East London Mosque dan London Muslim Center. Webinar ini membahas berbagai masalah terkait minoritas Muslim yang tinggal di Eropa.
Berbicara tentang “Kebijakan kontra-terorisme pemerintah dan perannya dalam menghasilkan Islamofobia”, Narzanin Massoumi, seorang dosen di Universitas Exeter, mengatakan, Islamofobia adalah bentuk rasisme dan harus direspons dengan serius, seperti bentuk rasisme lainnya.
“Sejak awal perang melawan teror, negara bagian Inggris telah menggunakan undang-undang luar biasa untuk menarget Muslim. Ini termasuk pengawasan, penahanan tanpa dakwaan, ekstradisi, bahkan pencabutan kewarganegaraan,” ungkap Massoumi.
Dia mengatakan Undang-Undang Terorisme di Inggris memberi negara kekuasaan untuk menahan penumpang di pelabuhan Inggris tanpa kecurigaan yang masuk akal terlepas dari keyakinan.
“Tapi jika Anda keturunan Pakistan, Anda 150 kali lebih mungkin dihentikan (ditahan) dibandingkan jika Anda berkulit putih,” katanya.
“Tapi itu tidak hanya berhenti pada kepolisian. Aparat kontraterorisme telah lebih jauh lagi melampaui kebiasaan di kepolisian atau lembaga keamanan dan intelijen ke bidang kehidupan publik lainnya,” tambahnya.
Mantan direktur ‘Bersama Melawan Islamofobia di Prancis (CCIF)’, Marwan Muhammad, mengkritik Prancis karena kebijakan terbarunya tentang Islam dan Muslim.
“Saya tahu tidak ada negara lain yang memiliki paradoks mempersepsikan dirinya sebagai pembawa obor untuk hak asasi manusia, kebebasan fundamental dan kebebasan berekspresi. Semua itu dan pada saat yang sama ada dikotomi langsung dengan cara memperlakukan minoritasnya,” kata Muhammad.
“Prancis bermasalah dengan dirinya sendiri karena gagasan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bergeser dari ruang realitas menjadi ruang kepercayaan (keyakinan). Jadi mereka tidak lagi harus melindungi kebebasan fundamental. Mengapa? Karena mereka menerima begitu saja,” terangnya.
Sekretaris Jenderal European Forum of Muslim Women, Linda Hyokki, mengungkap tentang kesulitan wanita mengenakan jilbab di pasar kerja Eropa.
“Kami mengamati semakin banyak negara Eropa yang menerapkan undang-undang dan kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung membatasi pilihan pakaian wanita Muslim, dan kemudian akses mereka ke peluang dan hak di masyarakat,” ujar Hyokki.
Menurut penelitian Pew Institute, kata Hyokki, pelarangan jilbab pada guru di Jerman menyebabkan perempuan Muslim meninggalkan karir (pekerjaan) mereka.
“Wanita Muslim tidak hanya kehilangan pekerjaan atau pekerjaan mereka tetapi juga kemandirian dan keamanan finansial mereka,” katanya.
“Penting untuk disoroti pada titik ini bahwa wanita Muslim jelas berada di bawah tekanan untuk menyeimbangkan kebebasan beragama, kemandirian ekonomi dan stabilitas keuangan.”
Selain masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam di Eropa, Ron Geaves, profesor tamu di Universitas Cardiff, juga mengungkap pengalaman Muslim di Inggris pada tahun 1880-an. (S)