Wakaf yang Bernilai Ibadah

KH Athian Ali M Dai, Lc, MA

Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA

SALAM-ONLINE.COM: Tidak semua yang diperbuat seseorang pasti bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara mereka yang melaksanakan shalat sekalipun ada yang jangankan diterima sebagai ibadah, bahkan terancam celaka di neraka weil (QS Al-Maa’uun: 4-7).

Karenanya, berulangkali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengawali sabdanya dengan kata “Rubba” atau “Kam”, yang mengandung pengertian “Alangkah banyaknya”, seperti dalam hadist: “Rubba (alangkah banyaknya) orang yang shalat hasilnya cuma merasakan letih.” Juga hadist: “Rubba (alangkah banyaknya) mereka yang shaum, hasilnya hanya sekadar merasakan lapar dan dahaga.”

Dengan diawali kata “Rubba”  atau  “Kam”, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermaksud meyakinkan umatnya bahwa dari sekian banyak yang beribadah, hanya sedikit sekali yang ibadahnya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Paling tidak, ada dua syarat utama yang harus dipenuhi seseorang agar apa yang dilakukannya bernilai ibadah.

Pertama, niat melakukan suatu perbuatan semata-mata ikhlas (QS Al-Bayyinah: 5), mengharap ridha Allah Ta’ala (QS Al-An’aam: 162).

Kedua, yang dilakukan  sesuai dengan syariat Allah sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam mewakafkan harta misalnya, jika seseorang ingin agar harta yang diwakafkan bernilai ibadah, maka yang bersangkutan harus yakin betul harta yang diwakafkannya benar-benar bermanfaat bagi kehidupan orang lain di jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga

Harta yang diwakafkan, terutama jika dalam bentuk uang, sangat mungkin tidak bernilai ibadah karena tidak memenuhi kedua syarat utama di atas, atau lantaran penerima wakaf tidak amanah sehingga tidak sampai kepada mustahik, ataupun wakaf dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.

Karenanya, sejak dahulu umat Islam cenderung mewakafkan hartanya dalam bentuk tanah atau bangunan, agar manfaatnya bisa bertahan lama, sehingga akan terus “Jaariyah” (mengalir) pahalanya kendati yang bersangkutan sudah berada di alam barzah.

Wakaf dalam bentuk amal jariah seperti itu peluangnya masih sangat terbuka di negeri ini, mengingat betapa masih banyak Pondok Pesantren dan Madrasah yang kondisinya sangat memprihatinkan plus honor  asaatidz (para guru)-nya yang sangat jauh dari memadai.

Masih  banyak Yayasan Dakwah Islam yang tertatih-tatih dalam melaksanakan programnya karena kekurangan dana.

Tidak sedikit Yayasan Yatim Piatu yang pengurusnya kerap merintih dan mengeluh karena sangat minimnya dana untuk menangani pendidikan dan kebutuhan hidup sehari-hari anak-anak yatim piatu, yang tidak memiliki Ayah untuk melindungi dan menafkahi atau Ibu yang memperhatikan, membelai serta mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya terhadap mereka.

Karena itu, pesan Al-Qur’an dan As-Sunnah: jangan sia-siakan harta yang diamanahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu. Pastikan harta yang diwakafkan benar-benar bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bermanfaat bagi sesama di Jalan yang Diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maslahat untukmu, terutama dalam menggapai kebahagiaan yang hakiki dan abadi di akhirat nanti.

Wallaahu a’lam.

*) Penulis adalah Ketua Umum ANNAS Indonesia

Baca Juga