AS, Inggris, Kanada Bersatu Menentang Pelanggaran HAM Cina atas Uighur

SALAM-ONLINE.COM: Menteri Luar Negeri Kanada dan Inggris serta Menteri Luar Negeri AS merilis pernyataan bersama pada Senin (22/3/2021) terkait keprihatinan ketiga negara itu atas “penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia” yang dilakukan rezim komunis Cina di wilayah Xinjiang terhadap Muslim Uighur.

Bukti-bukti pelanggaran HAM itu, termasuk dari dokumen pemerintah Cina sendiri, citra satelit dan kesaksian saksi mata, sangat banyak.

“Program penindasan Cina yang ekstensif termasuk pembatasan ketat pada kebebasan beragama, kerja paksa, penahanan massal di kamp-kamp pengasingan, sterilisasi paksa dan penghancuran bersama terhadap warisan Uighur,” demikian pernyataan yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau, Menlu Inggris Dominic Raab dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken seperti dilansir Kantor Berita Anadolu, Selasa (23/3).

Ketiga Menlu telah mengambil tindakan terkoordinasi, sejalan dengan Uni Eropa (UE). Ketiganya mengatakan mereka ingin mengklarifikasi apa yang mereka pikirkan tentang “penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia” yang dilakukan Cina terhadap Uighur.

“Kami menggarisbawahi pentingnya transparansi serta akuntabilitas dan menyerukan kepada Cina untuk memberikan akses tanpa hambatan ke Xinjiang kepada komunitas internasional, termasuk penyelidik independen dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, jurnalis dan diplomat asing,” kata mereka.

Baca Juga

“Kami akan terus berdiri bersama untuk menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di Cina. Kami berdiri bersatu dan menyerukan keadilan bagi mereka yang menderita di Xinjiang.”

Wilayah Xinjiang dihuni oleh sekitar 10 juta orang Uighur. Kelompok Muslim bergaris keturunan Turki yang membentuk sekitar 45% dari populasi di Xinjiang itu telah lama menyebut otoritas Cina melakukan diskriminasi agama, budaya dan ekonomi terhadap mereka.

Hingga 1 juta orang, atau sekitar 7% dari populasi Muslim di Xinjiang, telah ditahan dalam kamp konsentrasi oleh rezim komunis Cina, demikian menurut pejabat AS dan pakar PBB. (mus)

Baca Juga