Menggugat Tak Ada Nama Mohammad Natsir di Kamus Sejarah Kemdikbud

Dr Mohammad Natsir (Dokumentasi Keluarga)

SALAM-ONLINE.COM: Ada seorang dosen jurusan Sejarah di sebuah universitas di Jakarta bertanya pada mahasiswanya yang baru masuk tahun pertama kuliah.

“Siapa tokoh sejarah Indonesia yang paling berpengaruh dalam merebut kemerdekaan menurut kalian?” tanya dosen tersebut.

Jawaban beragam pun keluar. Paling banyak menyebut dwitunggal Soekarno-Hatta. Alasannya sederhana, merekalah proklamator, yang menjadi promotor kemerdekaan setelah dijajah bangsa lain.

Ada juga yang menjawab HOS Tjokroaminoto. Guru bangsa, mentor dari tokoh bangsa seperti Bung Karno hingga tokoh komunis Muso.

Sementara, ada satu mahasiswa perempuan yang terlihat betul menggemari sejarah Indonesia menjawab nama lain dengan lugas. Tan Malaka, katanya.

Sambil menjelaskan singkat isi buku yang pernah dibacanya seperti ‘Madilog’, ia menggambarkan betapa krusial peran Tan Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Diskusi pun menghangat. Sang dosen tak menyalahkan pendapat siapa pun. Namun, ia terus memancing dan berupaya memaksa semua mahasiswa bercerita soal sosok ‘pahlawan’ idealnya.

Sampai ada seorang mahasiswa berkemeja putih mengangkat tangan dan menyebut seorang tokoh yang tak pernah disebut. “Mohammad Natsir, Mas,” kata dia.

Sang dosen bertanya, mengapa kamu pilih Natsir? Apa yang istimewa?

Ia pun bercerita singkat soal perdebatan Dr Mohammad Natsir dan Ir Soekarno soal Islam dan Negara. Bagaimana awalnya tahun 1940 Soekarno menulis di majalah ‘Pandji Islam’ soal “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara?”

Secara singkat Soekarno menginginkan Islam harus terpisah dari negara. Soekarno mencontohkan Turki. Menurutnya, negara itu bisa maju karena memisahkan keduanya tanpa saling mengabaikan.

Yang menarik dari Natsir, menurut mahasiswa itu, ia tak serta merta memaksakan sistem kekhalifahan meski mengedepankan Islam.

Menurut Natsir, yang pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia itu, Negara diperlukan untuk menjalankan nilai-nilai Islam. Tokoh Partai Islam Masyumi ini memahami bahwa lembaga Negara adalah sebuah struktur yang sesuai untuk membantu menerapkan hukum Islam, berbeda dengan Soekarno yang lebih menekankan sosialisasi ajaran Islam di kalangan masyarakat.

Sang dosen kemudian tertarik membahas lebih dalam soal Natsir. Namun tidak hanya soal perdebatan ideologis, tetapi perjuangannya dulu melalui bidang pendidikan. Ia pun bercerita.

Perjuangan Awal Natsir

Wilayah Hindia-Belanda memasuki tahun 1930, memiliki penduduk berjumlah sekitar 60 juta jiwa. Dari sekian banyak penduduk tersebut, hanya sedikit dari mereka yang mampu untuk mengecap pendidikan.

Pendidikan adalah masalah masyarakat, masalah kemajuan yang sangat penting, lebih penting dari masalah yang lain-lain.

Sementara pendidikan bagi Natsir adalah awal dari perkara lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun masalah lainnya.

Jika suatu bangsa kebanyakan masyarakatnya terdidik dengan benar, maka perkara lainnya mengikuti untuk menjadi sesuatu yang baik.

Langkah awal Natsir dalam membangun kesadaran masyarakat Muslim melalui bidang pendidikan dimulai tahun 1927, yakni mengadakan kursus-kursus terbatas pada lingkungan Persis. Nama sekolah atau tempat kursus itu diberi nama Pendis atau Pendidikan Islam.

Murid-murid yang kursus adalah mereka yang sudah menamatkan sekolahnya di HIS, tetapi tidak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya.

Mata pelajaran yang diajarkan pada kursus tersebut adalah pengetahuan umum dan Bahasa Inggris. Tentu yang utama adalah Pendidikan Islam.

Kelas pertama yang dibuka pada kursus tersebut dihadiri oleh lima orang murid, pertama kali diselenggarakan dalam waktu dua jam setiap harinya dan pada waktu sore hari.

Kursus ini digelar di sebuah ruangan yang disewanya di simpang Jalan Pangeran Sumedang, tepatnya Jalan Lengkong Besar No 16, Bandung, Jawa Barat.

Baca Juga

Ketika awal mendirikan lembaga ini, Natsir harus mengorbankan waktu, pikiran dan uangnya yang tidak sedikit. Hal tersebut dilakukan oleh Natsir atas dasar tekad kuatnya untuk memajukan pendidikan yang nantinya bisa menjadi modal untuk membangun bangsa.

Natsir pernah sampai berpindah dari rumah kontrakannya kemudian memutuskan untuk tinggal di sekolah rintisannya. Kesibukannya di sekolah ini membuat Natsir terkesan mengabaikan aktivitas lainnya, termasuk sebagai kontributor utama majalah keluaran Persis, Pembela Islam.

Natsir juga yang kemudian memperkenalkan materi sistem administrasi di pesantren tersebut mulai tahun 1936.

Meski tetap didasari dengan melihat peluang yang ada, Pendis merupakan proyek idealis dari seorang Natsir, seperti apa yang dikemukakanya dalam Capita Selecta, pendidikan adalah masalah masyarakat, masalah kemajuan yang sangat penting, lebih penting dari masalah yang lain-lain.

Mosi Integral Natsir

Salah satu jasa dan peran Natsir dalam masa pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah ‘Mosi Integral’-nya yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Wakil Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Dr Hidayat Nur Wahid, MA mengatakan mestinya negara peduli sejarah. Dalam hal ini seharusnya DPR dan Pemerintah menaruh perhatian dalam Peringatan hari penting ‘Mosi Integral Natsir’.

Hidayat mengemukakan hal ini dalam acara Diskusi Publik Memperingati ‘Mosi Integral Natsir’ ke-68 yang diselenggarakan Fraksi PKS DPR RI pada 3 April 2018 lalu.

Menurut Hidayat, ‘Mosi Integral’, 3 April 1950, yang dilakukan pahlawan nasional sekaligus seorang Ulama, Dr Mohammad Natsir, adalah peristiwa penting yang harus diperingati setiap tahunnya.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah, dia formulasikan ke dalam dua kata ‘mosi Integral’. Dua kata ini disampaikannya ke Parlemen pada 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah. PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan ‘Mosi Integral’ ini sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

“Ini peristiwa yang amat luar biasa sangat penting. Makanya aneh jika negara tidak mementingkan itu,” kata Hidayat dalam acara Peringatan ‘Mosi Integral Natsir’ yang berlangsung di Gedung Nusantara I Komplek DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/4/2018).

Hidayat juga mengatakan bahwa mestinya DPR melakukan sidang paripurna terkait peringatan ‘Mosi Integral Natsir’. Dia mengingatkan bahwa PKS pada tahun sebelumnya telah mengusulkan akan hal tersebut, namun belum juga direspons.

“Fraksi PKS menyentil DPR untuk menyelenggarakan hari bersejarah ini. Tapi DPR belum sadar juga. Karena hal itu, akhirnya PKS memperingati hari sejarah bersatunya Nusantara ke dalam NKRI itu sendirian,” terangnya.

‘Mosi Integral Natsir’ yang mempersatukan Indonesia dari negara Federal Republik Indonesia Serikat (RIS), menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah karena jasa seorang ulama umat Islam. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam sangatlah mencintai negaranya. NKRI lahir dari jasa seorang Ulama yang kemudian menjadi Perdana Menteri Republik ini.

Apalagi saat melakukan ‘Mosi Integral’, Mohammad Natsir adalah ketua Fraksi Partai Masjumi yang notabene adalah partai Islam terbesar. Tentunya, apa yang disuarakan Mohammad Natsir adalah representatif umat Islam kebanyakan kala itu.

“Indonesia (atas kehendak Allah) diselamatkan oleh tokoh-tokoh umat Islam. Karenanya jangan ada Islamofobia,” ungkap Hidayat.

Sebelum ‘Mosi Integral Natsir’ lahir, Irian Barat tidaklah masuk ke dalam RIS. Hidayat pun berseloroh bahwa jika tidak ada ‘Mosi Integral Natsir’, akan tidak ada lagu kebangsaan “Dari Sabang Sampai Merauke”.

“(Jika tak ada ‘Mosi Integral Natsir’), lagu itu tidak bisa diperdengarkan lagi. Sampai Maluku saja,” seloroh Hidayat.

Tak Ada di Kamus Sejarah Kemendikbud

Namun terlepas dari itu, belakangan ini ada polemik menarik soal Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang disusun Kemdikbud.

Di sana dipaparkan ratusan tokoh nasional maupun asing. Nama-nama tenar seperti Soekarno, Tjokro maupun tokoh PKI DN Aidit ada. Namun justru tokoh sebesar Natsir dan lainnya dari Masyumi (yang sangat berjasa bagi negeri ini), tidak ada. Begitu pula pendiri Nahdlatul Ulama seperti KH Hasyim Asy’ari.

Padahal peran keduanya begitu besar. Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid sudah meminta maaf dan mengaku teledor. Mendibud Nadiem Makarim juga memerintahkan adanya koreksi.

Ada 10 organisasi tokoh di Kamus Sejarah itu. PNI paling banyak (14), menyusul Boedi Oetomo (9), PKI (8). PKI berada dalam tiga besar. Lalu ada yang mempertanyakan jasa dan peran PKI dalam merebut dan mempertahan kemerdekaan negeri ini dibanding Masyumi, NU, Muhammadiyah, dan lainnya, selain membantai umat Islam, Ulama, Kiai dan Santri?

Sumber: Kumparan, Salam

Baca Juga