SALAM-ONLINE.COM: Sejumlah partai politik (parpol) dan elemen masyarakat menolak wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta perubahan masa jabatan maksimal presiden dari dua menjadi tiga periode.
Amendemen UUD 1945 merupakan wacana yang kembali digaungkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2021 lalu. Sementara wacana perubahan masa jabatan presiden merupakan hal yang dicurigai berbagai kalangan bakal dilakukan lewat amendemen UUD 1945.
Kalangan yang menolak dari parpol, ada Wakil Ketua MPR (Fraksi PKB) Jazilul Fawaid. Ia mengatakan membahas rencana amendemen UUD 1945 di tengah pandemi adalah tidak bijaksana.
Jazilul menyatakan PKB menunggu perkembangan penanganan Covid-19 terlebih dahulu sebelum bicara masalah amendemen UU 1945.
“PKB menunggu perkembangan penanganan Covid, baru kalau mau bicara soal amendemen. Kalau Covid belum selesai, menurut saya enggak bijaksana kalau kita bicara soal amendemen,” ujar Jazilul.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menyebut melaksanakan konstitusi secara konsisten lebih mendesak disbanding melakukan amendemen UUD 1945 sekalipun secara terbatas.
Sinyal penolakan juga disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Nasdem dan Demokrat.
Dari elemen masyarakat, Ketua PA 212 Slamet Maarif menegaskan menolak keras karena saat ini tidak ada urgensi amendemen UUD 1945.
“Kami akan melawan lewat jalur konstitusional, sampai dengan langkah mengepung Gedung DPR/MPR apabila terus dilanjutkan,” kata Slamet.
Secara umum, Slamet mengatakan PA 212 menolak rencana amendemen UUD 1945. Meski amendemen dilakukan terbatas hanya dengan memasukkan Poin-Poin Haluan Negara (PPHN), PA 212 tetap menolak.
“Ya kami menolak-lah, apalagi kalau amendemennya hanya untuk memperpanjang jabatan atau menjadi 3 periode kami lebih menolak,” tegasnya.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun juga menolak wacana amendemen UUD 1945 jika hanya bertujuan memasukkan PPHN. Ia menilai PPHN bisa ditetapkan dengan cara lain tanpa amendemen konstitusi.
Refly menilai PPHN cukup diatur dalam suatu undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah. Karena itu, UUD 1945 tidak perlu diamendemen oleh MPR.
“Menurut saya problemati kalau hanya sekadar meng-install PPHN, padahal fungsi PPHN tersebut bisa digantikan oleh UU,” terang Refly.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Feri Amsari menegaskan bahwa PPHN tak menjamin pembangunan Indonesia terlaksana lebih baik.
Dia bercermin pada GBHN di masa Orde Baru. Kala itu, kata Feri, pembangunan dilakukan berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Tidak selalu patuh pada GBHN.
“Fakta, selama GBHN digunakan pada Orde Lama dan Orde Baru tidak ada pembangunan yang berkelanjutan. Yang ada pembangunan dikelola secara berkelanjutan oleh kelompok tertentu,” ujar Feri.
Berikutnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menilai wacana masa jabatan presiden tiga periode lewat amendemen UUD 1945, mengkhianati reformasi.
Mereka menyebut wacana itu melenceng jauh dari semangat perjuangan para mahasiswa di tahun 1998.
“Ini tentunya sebuah kemunduran. Tahun 1998 kita tahu banyak mahasiswa, pemuda, berdarah-darah untuk menyuarakan reformasi. Hari ini, seakan-akan perjuangan itu, keringat, darah yang dikeluarkan dikhianati,” kata Koordinator Pusat BEM SI, Nofrian Fadil Akbar.
Nofrian mengatakan pihaknya telah memulai kajian dalam rangka mengawal isu amendemen konstitusi. BEM SI juga sudah mulai bergerak ke sejumlah pihak untuk mencari tahu detail rencana amendemen UUD 1945 tersebut.
Merespons penolakan itu, Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Ferry Noor menyebut Joko Widodo juga menolak rencana amendemen UUD 1945 yang kini tengah bergulir di MPR. Joko Widodo, menurut Afri, juga menolak wacana presiden tiga periode. Benarkah?
“Selesai itu presiden menanggapi lagi. ‘Soal amendemen UUD saya enggak setuju. Takutnya melebar ke mana-mana. Soal 3 periode dan lain-lain,’ gitu, kata Pak Jokowi,” ungkap Afri.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Alo Mochtar Ngabalin mengjlaim bahwa Joko Widodo tak berpikir untuk menambah massa jabatannya beberapa tahun lagi lewat amendemen konstitusi.
“Soal amendemen periodesasi presiden, beliau sudah beberapa kali mengeluarkan pernyataan untuk penolakan. Begitu juga tidak pernah berpikir diperlambat, tambah berapa tahun lagi, tak ada pikiran Presiden,” kata Ngabalin.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan Joko Widodo telah menegaskan hanya akan menjabat selama dua periode. Ngabalin menyampaikan penolakan itu juga diungkapkan saat bertemu Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Sebagai sosok yang menggaungkan kembali, Bambang mengatakan wacana amendemen UUD 1945 sudah dipelintir menjadi upaya mengubah masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode. Padahal, amendemen hanya untuk menghadirkan PPHN.
Ya, publik hanya wait and see, benar atau tidak, apa yang dikatakan Presiden dan Ketua MPR itu.
Sumber: cnnindonesia