SALAM-ONLINE.COM: Gagasan perpanjangan masa jabatan presiden terus menuai kecaman. Dari senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD), partai politik, akademikus, hingga orgasasi Islam seperti Muhammadiyah memprotes rencana yang ditempuh lewat penundaan Pemilu 2004 tersebut.
Perlawanan terhadap gagasan perpanjangan masa jabatan presiden itu pun meluas, demikian dilansir Koran.tempo.co, Selasa, 1 Maret 2022 .
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, menegaskan perlawanan terhadap rencana perpanjangan masa jabatan presiden selama tiga tahun dan penundaan Pemilu 2024 tersebut.
“Itu berpotensi melanggar konstitusi dan menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi serta amanat reformasi,” kata Mu’ti kepada Tempo, Senin (28/2).
Dia juga mengkritik partai politik yang menggaungkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu. Usul penundaan Pemilu 2024 berawal dari omongan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, pekan lalu.
Berikutnya, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, mengatakan akan meneruskan aspirasi petani di Siak, Riau, yang meminta perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Terakhir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, yang menambahkan argumentasi invasi Rusia ke Ukraina dalam pertimbangan penundaan pemilihan umum, selain alasan ekonomi.
Sebagai catatan, PKB dan PAN merupakan dua partai yang lahir pada awal era reformasi—saat itu tuntutan utamanya adalah pembatasan masa jabatan presiden.
Menurut Mu’ti, seharusnya mereka konsisten menjalankan amanat konstitusi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Dia juga meminta partai lain tak goyah akibat tekanan dari berbagai pihak yang ingin memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo hingga 2027.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas, menilai gagasan penundaan pemilu merupakan bentuk pelecehan terhadap kedaulatan rakyat dan demokrasi. Hal itu sebelas-dua belas dengan ide memperpanjang masa jabatan presiden.
“Bisa semakin memperparah kualitas kepemimpinan. Yang menjadi korban adalah rakyat dan sumber daya alam,” kata Busyro, Senin (28/2).
Menurut dia, jika tak setuju akan ide itu, semestinya Presiden Joko Widodo angkat bicara. Sikap diam Presiden dia anggap sebagai bagian dari pembiaran bola panas ini menggelinding ke mana-mana. Busyro menyarankan Presiden memberikan pernyataan publik pada pekan ini. Hal ini juga merupakan bagian dari ikhtiar mencegah terbentuknya pembelahan dalam masyarakat.
Busyro mengatakan PP Muhammadiyah menanggapi serius wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden ini. Sejak tahun lalu, mereka menggelar berbagai diskusi ihwal potensi amendemen Undang-Undang Dasar 1945, yang isunya digulirkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Muhammadiyah juga menyoroti bahwa persoalan ekonomi justru kian parah karena oligarki telah mengendalikan eksekutif dalam beberapa tahun belakangan.
Protes juga muncul dari sejumlah partai politik, seperti Partai NasDem dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali, menyatakan ketidaksetujuan partainya terhadap usul perpanjangan masa jabatan presiden.
“Konstitusi sudah membatasi bahwa setiap orang hanya bisa dipilih dua kali sebagai presiden,” kata dia. Apalagi pihak eksekutif dan legislatif baru saja menyepakati penyelenggaraan Pemilu 2024 dengan menetapkan jadwal serta anggarannya.
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, mewakili Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, berulang kali menolak usul penundaan Pemilu 2024 serta perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Eksekutif, kata dia, semestinya fokus mengatasi masalah di depan mata, seperti dampak pandemi Covid-19 dan krisis minyak goreng. “Daripada berimajinasi tentang penundaan pemilu,” ujar Hasto.
Sikap ini didukung Ketua Dewan Pembina Laskar Ganjar-Puan (LGB), Mochtar Mohamad. Politikus senior PDIP sekaligus Wali Kota Bekasi periode 2003-2008 itu mengaitkan ide penundaan pemilu dengan kepentingan partai, bukan publik. “Jangan karena motif politik dari para ketua umum partai yang terancam parliamentary threshold, jadi punya ide penundaan pemilu,” kata Mochtar.
Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti ikut memprotes ide perpanjangan masa jabatan presiden itu. Menurut dia, penundaan Pemilu 2024 bakal memicu gerakan sosial. “Pemilik negara ini bisa marah dan para elite politik bisa ditawur oleh rakyat,” ujarnya.
La Nyalla menyatakan penyelenggaraan pemilu lima tahunan merupakan sistem yang lahir dari amendemen undang-undang dasar sebagai upaya evaluasi jalannya roda pemerintahan.
“Itu pun rakyat sudah dipaksa memilih calon pemimpin yang terbatas akibat kongsi partai politik lewat skema presidential threshold 20 persen. Lalu sekarang cari akal untuk menunda pemilu. Itu melampaui batas,” kata dia.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan perpanjangan masa jabatan presiden, apa pun dalihnya, sama sekali tidak mewakili keinginan rakyat.
Selama ini tidak ada gerakan masyarakat yang menginginkan Joko Widodo tetap menjabat setelah 2024. “Wacana itu semua difabrikasi oleh survei-survei yang dibayar dan juga oleh buzzer,” kata Bivitri.
Avit Hidayat | Egi Adyatama
Sumber: Koran.tempo.co