Anti Arab Ok, Anti Cina No!

Catatan M Rizal Fadillah*

M Rizal Fadillah

SALAM-ONLINE.COM: Ini adalah salah satu keanehan negeri yang dipimpin Joko Widodo bin Notomihardjo. Betapa gencar dan maraknya ungkapan-ungkapan sinis dengan hal-hal yang berbau Arab. Mulai dari pakaian hingga bahasa doa. Pernyataan Tuhan bukan orang Arab pun muncul.

Di sisi lain menyinggung etnis Cina sedemikian peka. Menyebut pengusaha Cina dikatakan rasis. Bahkan mewaspadai kedatangan TKA asal Cina saja dapat dilaporkan ke Polisi.

Adalah mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, yang mengingatkan bahaya kedatangan ribuan TKA Cina yang dipastikan tidak akan kembali ke negaranya. Mereka akan beranak pinak di Indonesia. Sutiyoso mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan Indonesia akan menjadi seperti Singapura dimana etnis Cina akhirnya menguasai negara. Melayu menjadi minoritas.

Sikap kewaspadaan mantan Kepala BIN ini sebenarnya pernah diungkapkan juga oleh mantan Kepala BAIS Letjen Purn Yayat Sudrajat. Sayangnya ditanggapi ngawur oleh Jubir Partai Garuda Teddy Gusnaidi yang meminta agar Sutiyoso diproses hukum.

Ini fenomena aneh. Saat menyinggung Cina, muncul pembela dan membawa-bawa proses hukum segala. Tahukah Partai Garuda bahwa rakyat di negara Garuda ini juga sudah sangat khawatir dengan serbuan TKA Cina?

Itu baru kaitan dengan TKA, apalagi jika mengkritisi keberadaan etnis keturunan Cina yang memiliki status sosial, ekonomi, maupun politik yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi. Ini bukan persoalan diskriminasi, tetapi menyangkut kesenjangan sosial, ekonomi dan politik. Negara harus peduli dengan dampak dari kesenjangan etnik tersebut. Tidak boleh ada konflik.

Di sisi lain sikap anti Arab sepertinya mendapat proteksi atau sekurang-kurangnya pembiaran. Apakah kasus Habib Rizieq Syihab, Habib Bahar, Farid Oqbah atau keturunan Arab lainnya murni hukum atau berdimensi politik diskriminatif?

Sebutan kadal gurun (kadrun) dipopulerkan untuk menyebut orang Arab, keturunan Arab, atau umat Islam yang lebih tampil dalam sikap keislamannya.

Gubernur DKI Anies Baswedan juga diserang habis-habisan dikaitkan dengan aspek etnis ini. Penyerangnya bebas-bebas saja tanpa sanksi perundang-undangan.

Baca Juga

Terkesan rezim Joko Widido mengkhawatirkan akan peluang Anies Baswedan menjadi penggantinya. Oleh karena itu “kadrunisasi” dibiarkan bahkan diproteksi.

Buzzer Istana mendapat perlindungan politik maupun hukum saat mereka menyatakan sikapnya yang anti Arab, berteriak berisik soal ras dan etnik, bahkan mengaitkan dengan radikalisme dan terorisme. Ormas diadu domba dengan mensupport kelompok anti Arab. Penyakit Islamofobia rezim Joko Widodo bin Notomihardjo menguatkan nativisme dengan sikap anti terhadap hal yang berbau Arab.

Benci pada Arab adalah pintu masuk untuk benci pada Islam yang berujung benci pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahaya atau serangan terhadap Islam seperti ini ternyata tidak disikapi dengan tegas. Adanya tokoh yang menyatakan bahwa budaya Indonesia lebih mulia daripada budaya Arab menunjukkan semangat anti Arab tersebut.

UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis digunakan untuk melindungi sikap kritis terhadap etnis Cina sekaligus dibuat tumpul bagi penyerang atau kelompok-kelompok anti Arab. UU diaplikasikan secara diskriminatif.

Sebenarnya etnis Cina tidak direndahkan. Hanya minta diwaspadai dan diteliti. Sementara etnis Arab justru direndahkan.

Dahulu PKI yang selalu menyerang Arab dalam rangka menentang kekuatan Islam. Dahulu PKI-lah yang mendapat dukungan dan berkolaborasi dengan Cina. Dahulu PKI-lah yang ingin mengubah ideologi negara dan dahulu PKI pula sebagai kelompok politik yang menghalalkan segala cara.

Kini PKI sudah tiada. Akan tetapi sikap anti Arab terus diwariskan dan etnis Cina tetap dimanjakan.

PKI baru tidak boleh muncul dan bangkit kembali. Komunis tetap menjadi bahaya laten. Jika Indonesia ingin selamat.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Baca Juga