Poros ‘Cap Kaki Tiga’ Harus Berani Keluar dari Kungkungan Oligarki

Catatan M Rizal Fadillah*

Ketum PPP Suharso Monoarfa (kiri), Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) dan Ketum PAN Zulkifli Hasan

SALAM-ONLINE.COM: Tentu aneh ada poros seperti ini, namun maksudnya adalah bacaan atas koalisi tiga partai politik yaitu Partai Golkar, PAN dan PPP. Meski hanya berbahasa untuk meningkatkan kerja sama, akan tetapi semua paham, koalisi ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan dan konstelasi Pilpres 2024.

Sekurangnya ada tiga desain yang memungkinkan dari terbentuknya koalisi tiga partai yang diumumkan di Rumah Heritage dengan dihadiri langsung oleh ketiga Ketumnya: Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan dan Suharso Monoarfa tersebut.

Pertama, menjadi poros serius untuk mendorong salah satu di antara ketiganya sebagai Calon Presiden. Airlangga yang berpeluang untuk diajukan atas dasar Partai Golkar lebih dominan meskipun figur Airlangga termasuk jeblok dalam survei.

Kedua, sebagai koalisi Pemerintahan Joko Widodo, gabungan tiga partai politik ini menjadi poros pesanan. Kepentingan “kemauan Joko Widodo” yakni untuk mendukung figur pilihan Joko Widodo dan oligarki. Bisa saja poros pesanan ini menjadi wadah untuk majunya figur Ganjar-Erick Thohir yang realitanya nir-partai.

Ketiga, menjadi poros cadangan untuk bergabung dengan poros lain. Melihat merapatnya Zulhas dan Monoarfa ke Anies Baswedan, maka potensial poros cadangan ini hanya untuk menyiapkan Calon Wakil Presiden. Paketnya adalah Anies Baswedan-Airlangga Hartarto. Kubu kuat gabungan PKS, Partai Nasdem, Golkar, PAN, PPP dan mungkin Partai Demokrat.

Dengan berspektrum “Cap Kaki Tiga” maka poros ini memiliki posisi daya tawar yang strategis. Apalagi PKB telah menyatakan siap untuk bergabung meskipun dengan syarat Cak Imin harus diajukan sebagai Capresnya. Syarat yang sudah pasti direaksi dengan tertawa terbahak-bahak.

Poros “Cap Kaki Tiga” yang awalnya bermaksud meredam panas dalam Istana, khususnya perseteruan antara kubu Joko Widodo dan Megawati, akan tetapi sebaliknya justru akan menambah panas di dalam Istana. Hal ini berkaitan dengan tidak atau kurang terakomodirnya kepentingan masing-masing atau karena Istana yang memang sedang membakar dirinya sendiri.

Baca Juga

Poros “Cap Kaki Tiga” ini pun dapat berfungsi dengan baik jika Threshold 20% tetap berlaku, akan tetapi jika putusan MK mengubahnya atau aksi sosial mampu mendobrak dekadensi demokrasi atau meruntuhkan penjajahan oligarki, maka konstelasi dipastikan berubah. Tokoh-tokoh “oposisi” seperti La Nyalla Mattalitti atau Rizal Ramli atau lainnya akan semakin berkibar.

Poros “Cap Kaki Tiga” yang menyebut dirinya “Koalisi Indonesia Bersatu” menyatakan menolak politik identitas. Entah apa maksudnya dan jika itu adalah semisal penonjolan identitas keagamaan, maka koalisi ini menjadi kontra produktif. Faktanya untuk Pilpres maupun Pileg selalu saja suara keagamaan itu diburu dan dikejar, bahkan ditiru.

Puan yang dengan pose berjilbab dan Erick Thohir yang bersorban peci adalah contoh peniruan tersebut. Politik identitas yang dibutuhkan. Dahulu Joko Widodo pun ada yang mengidentifikasi sebagai Khalifah Umar bin Khaththab segala. Walaupun berbeda jauh. Umar bin Khaththab itu bukan pendusta, tidak gemar pencitraan dan bukan pula penghutang besar. Apalagi menjadi boneka oligarki dan pelanggar HAM.

Poros “Cap Kaki Tiga” harus berani keluar dari kungkungan oligarki. Jika tidak dan hanya menjadi pengukuh dari kekuasaan oligarkis, maka Koalisi Indonesia Bersatu atau pun koalisi lainnya hanya akan berkedudukan sebagai alat penjajahan semata. Rakyat harus melawan penjajahan dalam segala bentuknya itu.

“Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Oligarki itu tidak manusiawi dan tidak berperikeadilan. Karenanya lumpuhkan, hapuskan dan hancurkan.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Baca Juga