Saatnya Pesantren Berbenah!

Catatan Imam Shamsi Ali*

Imam Shamsi Ali

SALAM-ONLINE.COM: Dua hari lalu saya menerima kiriman seorang teman cuplikan IG (Instagram) pengacara Hotman Paris tentang seorang Ibu yang menangis meratapi kematian anaknya. Konon kematian anak yang juga santri itu terjadi akibat penganiyaan di pondok pesantren modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur.

Tulisan ini tidak bermaksud menempelkan kotoran, apalagi merusak institusi pesantren yang sangat saya hormati dan banggakan. Betapa tidak, saya menjadi Syamsi Ali (Shamsi Ali) saat ini juga karena pondok pesantren. Saya adalah santri. Saya pernah mondok selama 6 tahun di pesantren.

Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua, khususnya kalangan pondok pesantren, dari Pimpinan, guru, staf, hingga ke santri/santriyah untuk berani melakukan introspeksi. Bahkan berani mendobrak dan melakukan “self criticism” (koreksi diri), “self correction” (perbaikan diri) dan “self development” (pengembangan diri).

Diakui atau tidak, memang salah satu penyakit pesantren dan Umat secara umum adalah mampu mengoreksi tapi pantang dikoreksi. Apalagi keinginan untuk mengoreksi diri sendiri. Inilah barangkali yang diingatkan oleh Al-Qur’an: “Kenapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak lakukan?” (as-Shoff: 2).

Pesantren dan pendidikan

Berbicara tentang pesantren bagi saya pribadi tentu adalah sesuatu yang personal (pribadi). Selain karena saya memang tamatan pesantren seperti disebutkan di atas, juga saat ini saya masih terus berjuang untuk mewujudkan pondok pesantren pertama di bumi Amerika.

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren adalah “backbone” (tulang punggung) pendidikan Islam di dunia Islam. Di negara-negara luar Indonesia pesantren itu lebih dikenal sebagai madrasah. Walaupun pastinya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Tapi baik pesantren maupun madrasah masih menjadi rujukan bagi pendidikan Islam generasi Umat.

Bagi Indonesia secara khusus pesantren memang tidak bisa dipisahkan dari wajah pendidikan Islam di bumi Nusantara. Bahkan eksistensi Islam di Indonesia secara umum. Dari pesantrenlah terlahir tokoh-tokoh nasional dan guru bangsa yang telah menjadi pilar bagi kelahiran dan kebangkitan nasional. Dua organisasi terbesar Indonesia terlahir dari karya dua Kiai besar tamatan pesantren.

Tulisan ini tidak bermaksud memaparkan lagi kelebihan-kelebihan pondok pesantren. Tapi intinya semua kelebihan sekolah-sekolah lain ada di pesantren. Anda bisa menjadi hebat dalam matematika, fisika, biologi dan berbagai keilmuan lainnya. Anda juga bisa menjadi ahli sosial bahkan pengamat politik yang tajam dari pesantren.

Tapi pesantren memiliki kelebihan-kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh institusi-institusi pendidikan lainnya. Satu di antaranya yang terpenting adalah bahwa pesantren tidak sekadar mengajarkan keilmuan. Tapi sekaligus mengajarkan tentang kehidupan. Santri itu adalah manusia yang telah matang untuk menjalani hidup.

Pesantren perlu berbenah

Dengan segala kelebihan dan keunikan itu tentu pesantren, sebagaimana institusi lainnya, bukanlah Institusi yang sempurna. Ada beberapa hal mendasar yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki. Tentu ada sebagian pesantren yang bagus pada aspek lain. Tapi aspek lainnya perlu pembenahan dan perbaikan.

Kali ini saya hanya menekankan urgensi pembenahan pada dua hal saja. Pertama, pentingnya pendekatan pendidikan yang imbang.

Tentu banyak hal yang perlu diseimbangkan. Dua di antaranya yang terpenting adalah keseimbangan antara pendekatan imani (dogmatis), ‘aqli (rasionalitas) dan jismani (fisikal). Kerap kali pendidikan di pesantren menekankan kepada dogma-dogma dan hafalan yang kurang diimbangi dengan pemahaman aqli (rasionalitas).

Akibat dari pendekatan itu bisa terlihat pada dua sisi yang ekstrem: 1) santri menjadi sangat dogmatis dalam beragama dan tidak menerima perbedaan. 2) mengalami keterkejutan mindset atau cara pandang ketika sudah terbuka dengan dunia luar. Akibatnya ada santri yang lebih sekuler dari mereka yang hanya tamatan sekolah umum.

Baca Juga

Hal lain yang memerlukan keseimbangan adalah pemahaman kepada adab menuntut ilmu yang kerap mengikuti petuah Imam Al-Ghazali: “Murid di hadapan gurunya bagaikan mayat.” Pemahaman adab dengan petuah Al-Ghazali ini menjadikan kreativitas dan daya inisiatif bahkan “self development” dari santri-santriyah menjadi lamban bahkan terhambat.

Hormat kepada guru dan mereka yang dituakan itu harus. Tapi kecenderungan mengultuskan dan mengikut tanpa reserve adalah salah. Para Ustadz, Kiai, atau apapun gelar dari guru-guru agama itu tidak menjadikan mereka terlepas dari eksistensinya sebagai manusia yang boleh benar/baik atau salah/buruk.

Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah pentingnya melihat kembali dengan penglihatan jernih bahkan kritis berbagai aktivitas di pondok pesantren, termasuk pendekatan guru-guru dalam mengajar dan pergaulan yang terjadi di antara santri-santri atau santriyah-santriyah.

Kasus yang baru saja terjadi di pesantren Gontor seharusnya menjadikan semua melakukan introspeksi bahwa apa yang ada di pesantren “not to be taken for granted” (bukan jaminan), seolah semua di pesantren baik-baik saja. Ada hal-hal yang perlu dicermati dan harus dikoreksi jika itu memang benar adanya.

Guru-guru atau pengajar bisa menjadi guru atau pengajar yang baik bukan karena sekadar tamat pesantren. Bahkan bukan hanya karena gelar Lc atau MA bahkan Dr atau PhD. Tapi memerlukan keahlian tersendiri. Dan Karenanya pesantren seharusnya perlu mengadakan pelatihan guru-guru (teachers training) dari masa ke masa untuk memastikan bahwa metode mengajar mereka sesuai dan tidak “ketinggalan pesawat”.

Satu hal yang biasa terjadi dan masih sering terjadi adalah pemukulan murid oleh gurunya. Biasanya pemukulan ini memakai dalil pula واضربوهن عند عشر (dan pukullah ketika berumur 10 tahun), dalam konteks mengajarkan shalat bagi anak-anak. Pemahaman literal dengan hadits ini sangat berbahaya. Persis sama ketika memahami secara harfi tentang penyelesaian pertikaian suami-isteri (واضربوهن).

Setelah ditelusuri ternyata kata ضرب yang secara sederhana diterjemahkan dengan “pukulan” memiliki lebih dari 23 arti. Sehingga setiap penempatan kata harus disesuaikan dengan konteks yang pas.

Dalam konteks pendidikan kata “ضرب” ini dapat diterjemahkan dengan kata “hukuman”. Karena memang pendidikan itu perlu dua sisi, “reward” dan “punishment”. Walaupun yang kita pahami dalam Islam bahwa “tabsyiir” atau reward selalu dikedepankan.

Karenanya saya ingin menekankan agar kebiasaan memukul Santri/santriyah di pesantren dihentikan. Guru yang biasa main tangan harus berhenti mengajar. Karena pendidikan dan kekerasan adalah dua hal yang paradoks.

Selain guru atau pengajar yang biasa melakukan kekerasan, tidak jarang juga kekerasan terjadi di antara para santri, khususnya senior kepada junior. Biasanya hal ini terjadi karena bagian dari latihan kepemimpinan para senior diberi tugas untuk menertibkan/mengawasi santri-santri yunior.

Karena perasaan tanggung jawab sebagai Pengawas atau pengurus (OSIS) itulah timbul rasa kekuasaan yang selanjutnya menimbulkan perilaku semena-mena. Yang menjadi masalah ketika otoritas itu diberikan kepada santri tanpa pengawasan yang baik dari guru atau Kiai.

Kurangnya pengawasan itu juga biasanya berdalih mengajarkan independensi atau maturity (kedewasaan) kepada para senior di pesantren. Sebuah excuse (alasan) yang nampak masuk akal. Tapi sangat reckless (tidak berhati-hati), bahkan dangerous (berbahaya).

Pada akhirnya saya mendoakan semoga apa yang terjadi kepada seorang santri di Gontor (dan mungkin di tempat lain yang tidak terekspos) menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan introspeksi. Bahkan harusnya menjadi motivasi bagi semua pesantren untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam segala hal, sehingga ke depan pesantren dapat tampil sebagai institusi pendidikan yang berkualitas tinggi. Bahkan lebih hebat dari sekolah-sekolah Istimewa lainnya yang selama ini mendominasi dunia pendidikan di Indonesia.

Saatnya berhenti mengeluh dan menyalahkan. Saatnya berbenah!

New York City, 6 September 2022

*Presiden Nusantara Foundation

Baca Juga