Diprotes Rakyat Suriah, Kenapa Turki Ingin Pulihkan Hubungan dengan Rezim Asad?
SALAM-ONLINE.COM: Rakyat Suriah di sebagian besar wilayah yang dikendalikan oleh kelompok oposisi turun ke jalan pada Jumat (13/1/2023). Mereka memprotes kemungkinan rekonsiliasi (pemulihan hubungan) antara Damaskus dan Ankara. (Middle East Monitor, Sabtu, 14 Januari 2023).
Para pengunjuk rasa mengusir Kepala Koalisi Nasional Revolusi Suriah dan Pasukan Oposisi Salem Al-Meslet dari kota Azaz, barat laut Aleppo.
Pemimpin senior Oposisi Suriah Mohammed Sarmini membenarkan bahwa ratusan pengunjuk rasa menyerang mobil Al-Meslet, mengusirnya dari tempat digelarnya aksi unjuk rasa.
Warga Suriah di barat laut Suriah memprotes potensi rekonsiliasi (perdamaian) antara Rezim Suriah dengan Turki. Aksi protes telah berlangsung hingga pada Jumat ketiga berturut-turut.
Menurut Sarmini, pengunjuk rasa yang turun ke jalan Jumat lalu, mengangkat poster bertuliskan: “Kami tidak akan berdamai… Kami akan mengembalikan revolusi ke hari-hari pertamanya…”
Kemarahan rakyat Suriah kepada pihak oposisi tak terlepas dari kejengkelan mereka terhadap sikap para pemimpin oposisi yang membuat Turki, di antaranya, memutuskan untuk memulihkan hubungan dengan rezim Basyar Asad.
Seperti diketahui, konflik berdarah di Suriah mulai meledak pada Maret 2011, saat rakyat salah satu wilayah Syam ini berunjuk rasa menuntut perubahan seiring dengan maraknya “The Arab Spring”, Revolusi Musim Semi Arab. Dimulai sejak 18 Desember 2010, terjadinya revolusi di Tunisia, kemudian Mesir, perang “saudara” di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, unjuk rasa besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Sudan, dan lainnya, termasuk Suriah.
Di Suriah, tuntutan perubahan dari rakyatnya yang berunjuk rasa dijawab rezim basyar Asad dengan kekerasan. Rakyat Suriah pun melawan. Lahirlah kelompok-kelompok perlawanan rakyat yang membentuk oposisi Suriah. Mayoritas rakyat yang menolak rezim Asad ingin Islam dijadikan sebagai landasan dalam bernegara. Sementara untuk mempertahankan kekuasaannya, rezim Asad didukung oleh Rusia dan Iran. Untuk itu Rusia membuat pangkalan militer di Suriah.
Turki, yang berbatasan dengan Suriah, mendukung rakyat dan kelompok oposisi. Dalam perundingan dengan Rusia, Iran dan rezim Asad serta perwakilan oposisi Suriah, Turki lebih mengedepankan kepentingan rakyat Suriah yang menolak rezim Asad. Sudah berapa banyak perundingan, tak membuahkan hasil. Setiap gencatan senjata yang sudah disepakati dalam perundingan dengan rezim Asad, Rusia, Iran dan Turki serta perwakilan oposisi Suriah, ujung-ujungnya selalu dilanggar oleh rezim Asad dan Rusia.
Kuatnya desakan dari rakyat Suriah agar Turki masuk ke negara mereka untuk menghentikan serangan rezim dan Rusia, dipenuhi. Disepakati, militer Turki masuk. Rakyat Suriah senang dan tenang, karena serangan rezim dan Rusia berkurang. Bahkan, di tengah dunia dilanda serangan Covid-19, kondisi Suriah menjadi makin tenang. Nyaris tidak ada lagi pertempuran. Termasuk di Idlib, provinsi yang dikuasai kelompok oposisi.
Namun, menjelang 12 tahun usia revolusi Suriah (Maret 2023) yang belum berhasil melengserkan rezim Asad dukungan Rusia dan Iran, muncul kabar yang kurang nyaman, terutama bagi rakyat Suriah. Ada rencana rekonsiliasi/pemulihan hubungan antara Turki dengan rezim Asad yang selama perang berlangsung, “terputus”, lantaran sikap Turki yang mendukung rakyat Suriah yang beroposisi.
Sementara faksi-faksi oposisi di Suriah saat ini meningkatkan intensitas serangan-serangan kecil ke arah rezim. Sebagai simbol bahwa perjuangan masih berlanjut. Sikap kelompok oposisi dan rakyat Suriah sendiri tentu banyak yang kecewa dengan rencana rekonsiliasi Turki itu. Tapi mereka hanya bisa menunggu apa-apa saja nanti yang jadi kesepakatan di antara kedua pihak.
Dari diskusi-diskusi yang berkembang di kalangan oposisi, bisa dibilang, kehadiran Turki di Suriah juga lantaran keinginan rakyat dan kelompok-kelompok yang ingin perubahan. Masalahnya, kelompok-kelompok oposisi Suriah itu sendiri sampai saat ini belum berhasil memenuhi keinginan Turki. Karenanya, dapat dikatakan, Turki ada di posisi sekarang, termasuk rencana rekonsiliasi dengan rezim Asad, itu lantaran faktor faksi-faksi di Suriah ini juga.
Pertama, sampai saat ini pihak oposisi belum berhasil membentuk satu kesatuan kelompok bersama di bawah Turki. Turki sudah meminta sejak 2018 agar mereka melebur (bersatu) menjadi sebuah kekuatan besar.
Kedua, mereka sampai saat ini juga gagal menyatukan pemerintahan de facto. Yang terjadi di tiap-tiap wilayah memiliki “pemerintahan-pemerintahan” kecil masing-masing. Di Idlib, Afrin dan Jarablus, misalnya, masing-masing dipimpin oleh kelompok yang berbeda. Hal ini membuat Turki kecewa. Mereka sulit sekali disatukan.
Ketiga, revolusi Suriah sudah memasuki tahun ke-12 pada tahun ini (Maret 2023). Cukup panjang untuk sebuah revolusi yang masih menemui jalan buntu. Turki tak bisa terus dalam ketidakpastian, di saat kondisi dalam negeri sendiri juga sudah banyak masalah. Mulai dari inflasi, krisis ekonomi (global), meningkatnya pengangguran dan makin banyaknya pengungsi. Sejak era Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina, kondisi ekonomi Turki kian memburuk. Belum lagi adanya bencana alam belakangan ini.
Ketiga kondisi di atas sangat mempengaruhi Turki dalam percaturan dan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Suriah.
Turki dengan rencana pemulihan hubungan dengan rezim Asad ini sebenarnya sekaligus menekan kelompok-kelompok di Suriah, “Bisa tidak kalian jadi partner-partner yang tepercaya!”
Tentara Turki sampai masuk ke dalam Suriah adalah untuk “menyelamatkan” rakyat dan wilayah Suriah yang berhasil direbut dan dikendalikan pihak pejuang oposisi. Tatkala pihak oposisi ada tanda-tanda “kehabisan nafas”, masuklah Turki.
Mungkin sekarang ada yang mengecam Presiden Erdogan atas rencana ini. Tetapi mereka (faksi-faksi di Suriah) harus menyadari, tahun ini adalah tahun pemilu di Turki. Jika kelompok “Kemalism” (CHP) sampai menang… tak terbayangkan apa yang mereka lakukan.
Jadi meski Erdogan ada kekurangan, tapi dia telah berusaha banyak dan mencoba apa yang dia bisa lakukan untuk Suriah, bahkan dunia Islam. Erdogan telah membuat Turki kembali menjadi negara yang diperhitungkan. Ekonominya kuat, militer dan teknologi militernya maju, mempunyai pengaruh regional yang dibutuhkan setiap sekutunya.
Untuk pemilu tahun ini di Turki, banyak yang berharap Erdogan kembali terpilih. Apalagi ini bisa jadi kesempatan terakhirnya, karena faktor usia.
Banyak yang berharap revolusi Suriah segera terwujud. Untuk itu kelompok pejuang diharapkan masih punya “nafas”. Harapan itu masih ada jika Erdogan tetap memimpin Turki. Itu harapan tokoh-tokoh dan aktivis Islam Suriah yang ingin faksi-faksi di Suriah bersatu, sebagaimana harapan Presiden Erdogan.
Para aktivis dan pejuang di Suriah juga berharap kelompok-kelmpok oposisi menyandarkan kembali tujuan mereka kepada Allah Ta’ala. Mereka telah dibuat sibuk selama ini hanya mengeruk hasil-hasil kecil dari wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Namun tiba-tiba mereka ikut protes terkait rencana Turki untuk rekonsiliasi dengan rezim Suriah. Turki yang habis-habisan untuk membantu mereka. Namun mereka tak kunjung bersatu sebagaimana permintaan Turki. Faksi-faksi oposisi itu malah sibuk dengan urusan wilayah masing-masing. (mus)