Perawat Itu Menatap Pria Palestina yang Meninggal di Pelukannya, Tiba-tiba Dia Berteriak Pilu, ‘Ini Ayahku!’

Elias al-Ashqar memperlihatkan foto ayahnya Abdel Hadi yang dibunuh saat serangan Zionis di Nablus, Tepi Barat, 23 Februari 2023 (Reuters)

SALAM-ONLINE.COM: Teriakan memilukan memotong kegaduhan di ruang gawat darurat Rumah Sakit al-Najah di Nablus, Tepi Barat, Palestina, setelah serangan militer Zionis penjajah yang mematikan di kota tua tersebut pada Rabu (22/2/2023) pagi itu.

“Ini ayahku,” teriak seorang perawat bernama Elias al-Ashqar ketika dia mengenali ciri-ciri yang sudah dikenal dari wajah pria berlumuran darah itu. Sang ayah meninggal di pelukannya.

Kepala perawatan intensif jantung yang juga sahabat dekat Ashgar, Ahmed Al-Aswad menceritakan kisah pilu ini kepada Middle East Eye (MEE).

“Ketika kami mendengar kode biru, Elias Ashgar dan saya menuju ruang gawat darurat dan mencoba menyadarkan (dua dari) yang terluka tanpa melihat wajah mereka. Dalam situasi ini, kami hanya peduli membantu pasien secepat mungkin,” tutur Ahmed al-Aswad seperti dikutip MEE, Kamis (23/2).

“Ketika semua upaya gagal dan waktu kematian diumumkan, Elias menatap wajah pria itu dan meneriakkan namaku sekuat tenaga: Aswad, ini ayahku!”

Abdel-Hadi (61), termasuk di antara 11 warga Palestina yang dibunuh oleh pasukan penjajah dalam serangan empat jam di kota Tepi Barat yang diduduki/dijajah pada Rabu (22/2).

Kekagetan Elias dirasakan oleh tim medisnya. Aswad menunjukkan KTP milik Abdel-Hadi al-Ashqar di depan wajah temannya sambil bertanya: “Apakah kamu yakin ini ayahmu?”

“Elias berkata: ‘Ya’ dan keheningan yang menegangkan terjadi di ruang gawat darurat,” ungkap Aswad.

“Kami masih berusaha untuk bangun dari mimpi buruk ini.”

Abdel-Hadi al-Ashqar sedang berada di pasar timur Nablus ketika lebih dari 60 kendaraan militer Zionis menyerbu kota itu pada Rabu pagi. Dia menderita luka pecahan peluru di jantung.

Sebuah medan perang

Sebelumnya pada hari itu, pasar timur Kota Tua itu tengah menjalankan aktivitas rutin bisnis seperti biasa.

Kios buah dan sayuran tersebar untuk ibu rumah tangga Palestina dan pensiunan lanjut usia. Ada pula pembeli yang sedang duduk bersama teman mereka di salah satu kafe di area tersebut.

Tak satu pun dari pengunjung reguler ini yang menyangka bahwa pasar, sebuah pemandangan yang hidup dengan suara penjual dan pembeli yang menawar harga, akan segera berubah menjadi medan perang.

Sekitar pukul 10 pagi, pasukan khusus penjajah yang menyamar—beberapa berpakaian preman, yang lain menyamar sebagai pendeta atau berpakaian wanita—memasuki pasar dengan membawa gulungan besar karpet tempat mereka menyembunyikan senjata mereka. Mereka menuju Masjid Agung Salahi, begitu menurut laporan saksi mata.

Saksi mata mengatakan, setelah pasukan khusus Zionis itu meninggalkan masjid dan bergerak, dengan senjata, mereka menuju sebuah gedung yang dilaporkan menampung pejuang perlawanan Palestina.

Pasukan penjajah ini bergabung dengan bala bantuan militer besar. Mereka mengepung gedung itu, menembakkan rudal, sementara penembak jitu Zionis terlihat ditempatkan di daerah sekitarnya.

Sebuah helikopter militer juga terlihat terbang di atas kota.

Di beberapa daerah, penduduk sekarang menghadapi pasukan penjajah, sementara di tempat lain, bentrokan bersenjata terjadi antara pejuang perlawanan dengan pasukan Zionis penjajah.

Pasukan Zionis membunuh enam pejuang dari kelompok bersenjata lokal, termasuk pejuang dari kelompok Lions ‘Den, serta seorang anak remaja pria berusia 16 tahun dan tiga pria lanjut usia.

Baca Juga

Begitu laporan penggerebekan pertama kali keluar, direktur tanggap darurat Bulan Sabit Merah di Nablus, Ahmed Jibril, segera mengirimkan ambulans ke daerah tersebut.

Tapi mereka mendapatkan gedung itu dikepung. Dan Militer Zionis memblokir semua titik masuk.

“Sementara itu, pasukan pendudukan/penjajah mencegah staf medis menolong yang terluka. Bahkan menargetkan mereka (petugas medis) dengan peluru tajam dan gas air mata,” kata Ahmed Jibril kepada MEE.

Jibril mengatakan pasukan penjajah mencegah tim medis mendekati dan mengevakuasi seorang anak yang menderita penyakit jantung.

Militer penjajah itu juga mengancam ambulans dengan drone gas air mata, sehingga semakin sulit untuk mengevakuasi korban luka yang dapat mereka jangkau.

Beberapa petugas medis terpaksa mengevakuasi yang terluka dengan tandu dengan berjalan kaki meskipun ada risiko bagi pasien.

Sedikitnya 102 warga Palestina terluka, termasuk tiga jurnalis. Sebanyak 82 orang di antaranya menderita luka tembak.

‘Hati itu berat’

Petugas medis dan kerabat Mohammed dan Khaled Baara berpacu dengan waktu saat mereka mengevakuasi seorang lelaki tua yang terkena penembak jitu penjajah di leher, pinggang dan kaki.

“Kami mengevakuasi pria itu dengan susah payah, karena penembak jitu menembak ke arah kami. Tapi lukanya fatal. Penembak jitu ingin membunuhnya tanpa ragu,” ungkap Mohammed.

Baru setelah sampai di rumah sakit, mereka menyadari dan terkejut bahwa lelaki tua itu adalah kerabat mereka, Adnan Baara, setelah melihat KTP-nya.

“Dalam kasus seperti ini, kami tidak mudah mengenali para syuhada karena wajah mereka tertutup debu atau berlumuran darah, seperti yang terjadi pada Baara,” katanya.

Mohammed, yang juga bekerja di sebuah toko di daerah itu, merawat puluhan lansia yang berada di Pasar Timur pada Rabu pagi.

Adnan Baara sedang berkunjung ke kota madya beberapa saat sebelum dia dibunuh. Pria tua ketiga, Anan Enab, meninggal malam itu karena menghirup gas air mata.

Militer Zionis mengatakan melakukan operasi di Nablus untuk menangkap tiga orang Palestina yang diduga merencanakan dan melakukan serangan terhadap aparat Zionis dalam beberapa bulan terakhir.

Aparat penjajah itu menambahkan bahwa mereka menembak balik setelah diserang. Setelah beberapa orang melempar bahan peledak dan bom molotov ke arah pasukan.

Pasukan penjajah yang menggunakan pesawat tak berawak, rudal, penembak jitu, peluru tajam dan bom gas, kemudian meninggalkan pasar dan daerah sekitarnya yang sudah porak poranda.

“Sebagai seorang petugas ambulans yang telah bekerja di daerah konflik selama bertahun-tahun, kami sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini, tetapi perasaan marah dan sedih muncul setiap menyaksikan orang-orang yang terluka dan dibunuh,” kata Mohammed.

“Dan pada akhirnya, hati dan perasaan ini terasa berat.” (mus)

Baca Juga