Soal Perda, MUI Pekanbaru: “Saya Kesal, Presiden Kurang Dengar Aspirasi Masyarakat”

Ketua Umum MUI Pekanbaru Prof Dr KH Ilyas Husti,MA-1
Ketua Umum MUI Pekanbaru Prof Dr KH Ilyas Husti, MA

PEKANBARU (SALAM-ONLINE): Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru akan memperjuangkan peraturan daerah (Perda) yang mengandung nilai dan moral untuk tidak dihapuskan, karena penghapusan perda tersebut melemahkan syariat Islam di Indonesia yang mayoritas Muslim.

“Saya kesal, karena 80 sampai 85 persen mayoritas Islam di Indonesia, berarti Presiden kurang mendengar aspirasi masyarakat, melalui organisasi ini saya akan suarakan sampai ke Jakarta,” kata Ketua Umum MUI Pekanbaru Prof Dr KH Ilyas Husti, MA kepada kantor berita Antara usai seminar Pekan Tilawatil Quran di Gedung Serba Guna Radio Republik Indonesia (RRI) di Pekanbaru, Kamis (16/6).

Untuk diketahui sebelumnya Presiden Joko Widodo resmi menghapus 3.143 Perda yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi dan bertentangan dengan peraturan yang dibuat pemerintah pusat.

Penghapusan perda tersebut menuai pro dan kontra karena sejumlah Perda mengandung syariat islam. Ilyas Husti mengaku dirinya selama ini mendukung kebijakan pemerintah pusat namun tidak dengan penghapusan Perda yang mengandung nilai agama dan moral yang bermanfaat untuk kemaslahatan banyak umat.

“Hak seorang Muslim itu jangan sampai dilemahkan,” tegasnya.

“Kalau Perda yang mengatur umat Muslim lebih banyak menimbulkan perdamaian kenapa harus di hapuskan,” katanya pula.

Baca Juga

Peraturan daerah yang disoroti mulai dari perihal imbauan berbusana Muslim/Muslimah, wajib bisa baca Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin, tentang larangan membuka restoran, warung, rombong dan sejenisnya serta makan, minum atau merokok di tempat umum pada siang hari bulan Ramadhan dan Perda lainnya yang sudah ditetapkan di beberapa daerah di Indonesia.

“Kalau itu dihapuskan maka dampaknya lebih buruk, kami dengan kawan-kawan kurang setuju dengan Perda yang menyangkut keyakinan itu dihapuskan,” ungkapnya.

Presiden memangkas beberapa peraturan daerah yang dinilainya menghambat jalannya pemerintahan di daerah. Sementara untuk peraturan daerah yang mengandung unsur-unsur Islam lebih dinilai intoleransi terhadap umat beragama lainnya yang terdiri dari berbagai agama, suku bangsa, etnis.

Padahal di Bali juga berlaku aturan pelarangan aktivitas di hari raya nyepi, sehingga umat lain harus menyesuaikan dengan keyakinan Hindu tersebut. Begitu pula di Papua, ada Perda larangan berjualan di hari Minggu, umat Islam yang minoritas harus taat dengan peraturan untuk kepentingan pemeluk Kristen tersebut. Tetapi hal ini luput dari sorotan, yang disorot selalu Perda yang dinilai mengandung syariah. (s)

Sumber: Antara

Baca Juga