Kenakan Hijab, Muslimah India ini Ditolak Bekerja di Lembaga Yatim Piatu
SALAM-ONLINE: Fenomena anti Islam nampaknya tidak hanya berkembang luas di daratan Eropa. Perlakuan diskriminasi yang dikenal dengan sebutan Islamofobia itu kini juga menjadi salah satu permasalahan sosial yang dihadapi warga Muslim di India.
Seorang Muslimah di India, Nedal Zoya, beberapa waktu lalu menceritakan kepada Aljazeera bahwa dirinya mendapat penolakan lamaran kerja dari sebuah lembaga yatim-piatu di ibu kota India, New Delhi, setelah diketahui penutup kepala yang dikenakannya identik dengan yang umum digunakan oleh Muslimah.
“Semua berjalan normal (pada awalnya), kami saling berbalas email,” tutur lulusan Institut Ilmu Sosial di Mumbai itu seperti dilansir Aljazeera, Sabtu (18/11/2017).
“Namun, beberapa hari lalu, saya menerima email yang isinya menyatakan: ‘Mohon maaf kami harus menyampaikannya kepada Anda, dari jarak satu kilometer saja Anda terlihat seperti seorang Muslimah, jika dilihat dari apa yang Anda kenakan’,” lanjut Zoya menceritakan.
Zoya mengatakan, tujuannya melamar di lembaga yatim-piatu Delhi Orphanage fo Girls adalah untuk menyalurkan rasa kepedulian dan kemanusiaannya dengan bekerja sebagai relawan. Namun, Zoya menyayangkan, kemanusiaan yang dimaknai lembaga tersebut ternyata bertentangan dengan Keislaman yang dia anut.
Hal itu dapat terlihat dari upaya Harish Varma, Presiden dan CEO dari lembaga yatim-piatu tersebut yang meminta Zoya mengirimkan foto dirinya tanpa hijab sebagai bentuk komitmen nyata terhadap kemanusiaan.
Zoya menolak permintaan tersebut. Sebagai respons atas penolakan Zoya tersebut, Varma dalam email balasannya menyatakan sangat “syok” atas sikapnya itu. Varma mengatakan, sikap Zoya itu dipandang sebagai ‘konservatisme’ beragama yang tidak akan mendapatkan tempat di lembaga sosial yang dipimpin olehnya. Tidak hanya itu, Varma bahkan menyebut sikap Zoya itu tidak sesuai dengan statusnya sebagai lulusan perguruan tinggi.
“Syok mengetahui bahwa konservatisme Islam lebih dia prioritaskan ketimbang nilai kemanusiaan. Karena itu semua pendidikan tingginya menjadi sia-sia,” ungkap Zoya menunjukkan balasan email Varma kepadanya.
Di kemudian hari, Zoya diinformasikan bahwa sejumlah Muslimah yang dipandang memiliki ‘pemikiran modern’ dan ‘bebas’ mendapatkan pekerjaan yang sama dengan yang dilamar olehnya. “Saya tidak menanggapinya sebagai penolakan. Saya tidak melihat diri saya sebagai korban (perlakuan diskriminasi). Hijab ini merupakan keteguhan diri saya. Ini sepenuhnya pilihan saya untuk mengenakan hijab,” ucap Muslimah berusia 27 tahun itu.
Dalam pembelaannya, Varma menyatakan dengan tegas bahwa ia menjadikan prinsip sekularisme sebagai nilai yang dianut di Delhi Orphanage fo Girls. Adapun mengenai prinsip agama ia tolak mentah-mentah untuk masuk ke dalam lembaga sosial yang dipimpinnya itu.
“Negara kita (menganut) sekular. Kami tidak memberikan preferensi (untuk bekerja) berdasarkan agamanya. Itulah mengapa saya mengingingkan lembaga yatim-piatu ini bebas dari agama. Agama saya adalah kemanusiaan dan ya, saya tidak menginginkan ada pengaruh agama apapun dalam organisasi saya,” ujar Varma.
Anggota legislatif dari salah satu partai penguasa, partai Aam Aadmi, menyatakan, pemerintah dapat mengambil sikap dan mempermasalahkan perlakuan diskriminatif yang ditunjukkan Varma apabila Zoya mengajukan gugatan atau komplain. Menurut anggota Aam Aadmi, Saurabh Bharadwaj, perlakuan diskriminatif terhadap suatu agama bertentangan dengan konstitusi India.
Namun, dalam keadaan yang sebenarnya, pernyataan Bharadwaj itu hanya dapat dipandang sebagai normatif saja. Sejumlah studi menunjukkan, India merupakan salah satu negara dengan permasalahan diskriminasi yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari penelitian Sachar Committee Institute yang menunjukkan bahwa sejumlah kelompok minoritas seperti Dalits mendapat perlakuan diskriminatif yang tinggi, khususnya dalam kesempatan kerja di bidang perumahan. Begitu pula dengan Muslim. Penelitian yang dirilis pada tahun 2006 menunjukkan bahwa Muslim di India tidak mendapatkan kesempatan yang merata dalam hal ekonomi dan pendidikan.
Kondisi pada 11 tahun silam seperti terdapat dalam laporan Sachar Committee Institute semakin diperparah semenjak Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa. Kaum Muslimin di India seringkali diberitakan mendapat perlakuan diskriminatif dan bahkan serangan dari kelompok pendukung Modi yang merupakan kelompok ekstrem kanan di negara itu.
“Tren Islamofobia yang meningkat harus segera dihentikan saat ini juga. Kepolisian India harus memastikan bahwa mereka yang bertanggungjawab (atas serangan dan pembunuhan terhadap Muslim) harus diadili,” tulis Amnesty International dalam laporannya. (al-Fath/Salam-Online)
Sumber: Aljazeera