‘Bertahan atau Mati Bersama’: Lebih dari 400 Warga Suriah Meregang Nyawa di Ghouta Timur
GHOUTA TIMUR (SALAM-ONLINE): Lebih dari 400 orang warga sipil Suriah terbunuh di Ghouta Timur, saat pasukan rezim Basyar Asad yang didukung oleh pesawat tempur Rusia melanjutkan serangan udara mereka terhadap wilayah yang dikuasai kelompok pejuang oposisi tersebut, sebuah kelompok pemantau melaporkan.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) menyatakan pada Kamis (22/2/2018) bahwa setidaknya 403 orang meregang nyawa dalam “serangan histeris” yang dilancarkan sejak Ahad (18/2), termasuk 150 anak-anak. Sebanyak 2.120 lainnya luka-luka.
Utusan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura, jelang pertemuan Dewan Keamanan PBB, menekankan perlunya gencatan senjata yang mendesak.
“Situasi kemanusiaan di Ghouta Timur sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, kita memerlukan gencatan senjata yang menghentikan serangan dahsyat di Ghouta Timur dan penembakan mortir yang dilakukan secara brutal di Damaskus,” katanya seperti dilansir Aljazeera, Jumat (23/2).
De Mastura menegaskan mendesaknya gencatan senjata harus diikuti dengan akses kemanusiaan tanpa hambatan. Evakuasi untuk orang-orang yang terluka, ujarnya, harus difasilitasi agar bisa dibawa keluar dari Ghouta Timur. Ia memperingatkan bahwa ini adalah pengulangan kasus di Aleppo.
Hidup di bawah pengeboman
Warga Ghouta Timur, yang sebagian besar mengungsi, mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan.
Rafat al-Abram, tinggal di Douma. Dia adalah montir mobil. Serangan udara dalam beberapa hari terakhir telah mengganggu pekerjaannya karena jalan yang dia lewati dihancurkan oleh dua serangan.
“Saya berhasil mendapatkan beberapa peralatan dan memperbaiki mobil kapan pun saya bisa,” ujarnya kepada Alazeera.
“Terkadang saya juga memperbaiki ambulans pertahanan sipil (lembaga bantuan yang sigap membantu korban-korban serangan rezim),” kata Abram.
Istri dan dua anak perempuan Abram, Khadijah (17) dan Ola (15), tinggal di rumah. Mereka memulai hari mereka dengan duduk bersama sebelum Abram mengunjungi tetangganya untuk mendapatkan berita suram terbaru.
“Terkadang pengeboman terjadi di tempat saya bekerja, yang berarti saya harus berhenti (bekerja) dan buru-buru membantu pertahanan sipil menarik (menyelamatkan) korban dari reruntuhan,” ungkapnya.
Setelah Abram kembali ke rumah, dia mengatakan bahwa dia dihantui pemandangan mengenaskan yang dia saksikan di siang hari ini.
“Melihat seorang ayah atau ibu meratap dan menangis atas anak-anak mereka yang telah meninggal, atau seorang ayah membawa anaknya yang memiliki satu kaki diamputasi, atau yang lain berseru kepada Allah dan kemudian minta tolong agar orang-orang menyelamatkan keluarga mereka yang semuanya berada di bawah reruntuhan bangunan … Saya mencoba untuk menghibur mereka meskipun saya ingin duduk dan menangis bersama mereka dari kengerian akan apa yang terjadi di sekitar kita,” tuturnya kepada Aljazeera.
‘Bertahan atau mati bersama’
Ghouta Timur, daerah di pinggiran ibu kota Damaskus, berada di bawah pengepungan rezim sejak 2013. Sekitar 400.000 warga Suriah tinggal di distrik ini. Blokade atas wilayah ini telah menghasilkan inflasi bahan makanan pokok yang sangat besar. Sekantong roti dijual seharga US$ 5 (hampir Rp 70.000).
Kekurangan gizi telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menurut Kantor Urusan Koordinasi Kemanusiaan PBB, 11,9 persen anak-anak Ghouta Timur di bawah usia lima tahun kekurangan gizi akut.
Hanya satu konvoi bantuan kemanusiaan yang diizinkan di daerah tersebut pada Februari, ke kota Nashabieh. Namun tidak ada yang diizinkan pada Januari dan Desember.
Nisma al-Hatri mengatakan kepada Aljazeera bahwa suami dan anak perempuannya yang berusia 10 tahun, Sara, terbangun karena mendengar deru suara pesawat tempur.
“Setiap hari berjalan seperti ini: pengeboman, bombardir. Maka saya membersihkan rumah dari bekas tembakan di dekatnya, lalu kami bersembunyi di satu ruangan, mencoba bertahan atau mati bersama,” kata Hatri.
“Putri saya, Sara, dan saya bangun dengan tangan saling berpelukan dari malam sebelumnya,” lanjut Hatri. “Kami semua tidur di kasur. Dia memeluk saya dan bertanya mengapa dia tidak bisa bermain, atau ke sekolah atau melihat teman-temannya, saya tidak bisa menjawabnya.”
Hatri (32 tahun) adalah seorang guru. Tapi sekolah tempatnya mengajar ditutup sebulan sebelumnya karena situasinya terlalu berbahaya. Meski begitu, Hatri masih memberi pelajaran kepada Sara dan anak-anak tetangga lainnya setiap hari.
Suaminya pergi keluar setiap pagi selama beberapa jam. Dia kembali dengan membawa selai (jelly) yang dimasak Hatri dengan nasi untuk sarapan dan makan malam mereka. Namun dalam beberapa hari ini suaminya pulang dengan tangan hampa, tanpa membawa makanan atau bahan masakan.
‘Perang melawan warga sipil’
Mahmood Adam, seorang anggota Pertahanan Sipil Suriah, yang dikenal dengan sebutan White Helmets (Helm Putih) menjelaskan kepada Aljazeera, kenyataan bahwa Ghouta Timur sebagai daerah “bencana”.
“Kami berbicara tentang sasaran sistematis warga sipil di rumah, sekolah, pusat medis, pasar dan lokasi pertahanan sipil mereka,” katanya. “Ini adalah pemusnahan masyarakat di daerah ini.”
“Ada keluarga yang telah bersembunyi di ruang bawah tanah. Mereka belum melihat matahari dalam beberapa hari karena takut akan kebrutalan (serangan) rezim dan pesawat tempur Rusia,” lanjutnya.
“Kami tidak tahu apakah kami akan hidup untuk mengatakan kepada dunia apa yang terjadi dalam satu jam atau sehari berikutnya. Peluncuran roket tidak ada habisnya. Pesawat tempur belum meninggalkan langit (udara) Ghouta Timur sejak hari Minggu,” ujar Adam.
“Semua orang di sini tahu bahwa ini adalah pembantaian dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” tambahnya. “Ini perang melawan warga sipil.” (S)
Sumber: Aljazeera