Anti Arab atau Anti Islam?

KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA

Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*

SALAM-ONLINE.COM: Akhir-akhir ini semakin lantang dan gencar saja upaya segelintir orang “berbaju Islam” memproklamirkan ke-”kafir”-annya dengan “kufur”—menentang dan menolak—sebagian syariat Islam.

Dari berbagai pernyataan yang sempat dimuntahkan di berbagai media sosial, terkesan mereka begitu sangat membenci terhadap sebagian syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Dengan sangat lantangnya mereka menolak syariat berhijab yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dalil yang qath’i dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tidak kalah gencarnya upaya mereka menolak syariat Islam yang menetapkan haram atau sesatnya berbagai budaya yang bernuansa syirik dan beraroma kemusyrikan, buah dari warisan berbagai ajaran yang pernah mewarnai budaya dan kehidupan masyarakat sebelum kehadiran Islam di Nusantara.

Setiap Muslim pasti maklum, kendati Islam turun di lingkungan bangsa Arab Iewat Rasul-Nya yang juga orang Arab, tapi tidak seperti risalah-risalah yang diturunkan kepada para Rasul sebelumnya yang hanya khusus bagi bangsa bahkan kaum tertentu saja.

Risalah Islam yang terakhir lewat Rasul terakhir Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diturunkan tidak hanya khusus untuk bangsa Arab, melainkan “Rahmatan lil ‘aalamiin” (QS Al-Anbiyaa’: 107), untuk seluruh alam semesta sejak diturunkan sampai kiamat nanti.

Risalah Islam hadir untuk merombak total keyakinan sesat dan budaya yang berkembang di lingkungan Arab jahiliyah. Hanya dua jenis budaya Arab jahiliyah yang dilestarikan Islam. Itu pun dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan dasar syariat Islam.

Pertama: Budaya menikah yang didahului oleh lamaran, yang menurut Aisyah Radhiyallahu ‘Anha termasuk salah satu dari empat bentuk perkawinan yang sempat berkembang di lingkungan Arab saat itu.

Kedua: Budaya aqiqah yang lazim dilakukan masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu, dengan menyembelih kambing lalu darahnya dikeramaskan ke kepala bayi.

Budaya aqiqah itu juga dilestarikan Islam dengan beberapa perubahan mendasar, terutama dalam niat, dari untuk berhala-berhala yang mereka sembah, menjadi Lillaahi Rabbil ‘aalamiin. Sementara darah kambing yang disembelih dibiarkan mengalir menyatu dengan tanah. Sebagai gantinya kepala bayi diusap dengan minyak wangi.

Setiap Muslim selayaknya meyakini, bahwa risalah Islam yang diwariskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya satu yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Risalahnya berlaku bagi setiap Muslim sejak diturunkan 16 abad yang lalu sampai dengan kiamat nanti, di ujung dunia mana pun dia berada dan di negara mana pun yang bersangkutan tinggal.

Setiap Muslim dituntut berupaya agar budaya yang berkembang di masyarakat sejalan dengan Islam. Bukan sebaliknya, memaksakan risalah Islam untuk menyesuaikan dengan budaya di masing-masing daerah.

Baca Juga

Risalah Islam mengakui adanya ‘Urf (budaya) dan membenarkan umatnya melestarikan dan mengembangkan budaya (adat istiadat) setempat, selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar akidah dan syariat Islam.

Tentu saja pihak yang paling pertama melaksanakan syariat Islam adalah orang-orang Arab. Yang pertama kali berhijab pasti Muslimah Arab. Yang paling pertama melaksanakan syariat shalat, shaum dan haji juga pasti orang-orang Arab, karena memang syariat Islam pertama kali turun di Arab.

Seandainya Rasul yang diutus terakhir bukan orang Arab, dan risalah Islam diturunkan bukan di Jazirah Arab, tapi di Indonesia misalnya, maka substansi dari risalah Islam yang turun pasti akan sama dengan yang ada sekarang ini.

Prinsip Islam yang sangat fundamental dan gamblang itu kini sedang dicoba dikaburkan oleh segelintir orang yang ingin memisahkan Islam yang kaaffah dari umatnya.

Kepada mereka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan, bahwa Allah Ta’ala hanya memberikan hak kepada manusia untuk menentukan satu dari dua pilihan: “Mu’min” atau “Kafir” (QS Al-Kahfi: 29).

Atau dengan kata Iain: “Terima syariat Islam sepenuhnya atau tidak sama sekali”.

Tidak akan pernah kita jumpai dalam kamus Islam istilah “Rada kafir” atau “Agak mu’min”.

Karena prinsip ini jugalah keimanan iblis selama 80.000 tahun akhirnya dinyatakan gugur hanya karena iblis kufur terhadap satu syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan alasan yang sama pula Allah Ta’ala menolak keimanan sebagian bani Israil yang mengajukan permohonan dan penawaran kepada Nabi Musa ‘Alahissalam, untuk hanya mengimani sebagian syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menolak sebagian syariat-Nya yang lain yang tidak sesuai dengan hawa nafsu dan logika sesat mereka (QS Al-Baqarah: 85).

Karena mu’min atau kafir itu pilihan, maka kepada mereka yang memilih kafir, hendaknya tidak perlu sungkan-sungkan menyatakan kekufurannya. Tidak ada gunanya bersikap munafik, berupaya tampil dengan wajah dan kepribadian ganda.

Nyatakan saja secara kesatria: “innii kaafiruun” (saya kafir) terhadap syariat dan Diinul Islam, tanpa harus disibukkan mencari dalih penolakan terhadap syariat Islam (agar tetap terkesan Muslim), di antaranya memfitnah sebagian syariat Islam sebagai budaya Arab yang harus ditolak, karena tidak sesuai dengan budaya nusantara.

Berulang kali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasuI-Nya dengan sangat tegas menyatakan, bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak butuh dengan keimanan dan keislaman seseorang. Lagi pula mustahil Allah Subhanahu wa Ta’ala, pemilik segala sifat Maha, memiliki kebutuhan, terlebih lagi dari makhluk ciptaan-Nya.

Tugas para Rasul (QS Yaasiin: 17) yang kemudian diwarisi para Ulama (Al-Hadist) hanyalah sekadar “Balaaghul mubiin”, menyampaikan kebenaran yang nyata. Silakan kafir sekafir-kafirnya, karena “tidak ada yang dirugikan oleh kekufuran seseorang, kecuali dirinya sendiri”. []

*) Penulis adalah Ketua Umum ANNAS Indonesia

Baca Juga