Catatan Masdar Helmi, Lc
(Guru Ngaji di Pelosok Negeri)
SALAM-ONLINE.COM: Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, lahir pada tahun 194 H dan meninggal pada 256 H. Kurang lebih berusia 62 tahun. Lebih dikenal dengan sebutan Imam Bukhari. Imam ahli hadits yang lahir di Kota Bukhara, Uzbekistan.
Imam Bukhari ulama terkemuka sepanjang sejarah. Kitab shahih beliau yang meriwayatkan lebih dari 7.000 hadits tersebut adalah kitab paling muktamad setelah Al-Qur’an.
Namun sadarkah kita bahwa beliau juga manusia biasa. Menerima dan mengalami banyak cobaan. Termasuk ujian fitnah dari sesama ulama maupun penguasa di masanya.
Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, semua menyambut dengan gembira. Awalmya sangat disukai oleh rakyat jelata, ulama juga penguasa. Namun karena majelis ilmu Imam Bukhari lebih ramai dihadiri oleh para penuntut ilmu ketimbang majelis di bawah asuhan gurunya, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli, maka terjadilah fitnah kepada Imam Bukhari. Ulama yang sangat dihormati beliau tersebut dengan teganya menuduh Imam Bukhari sesat (Siyar A’lamun Nubala: 12/437).
Entah siapa yang membisikkan, tapi itulah yang terjadi. Selain memfitnah dan mentahdzir, Imam adz-Dzuhli juga memboikot Imam Bukhari, sehingga tidak ada orang yang berani mengunjungi Imam Bukhari. Kecuali segelintir orang.
Di antara segelintir orang itu ada Imam Muslim dan Imam Ahmad an-Naisaburi yang setia menemani Imam Bukhari. Terlebih Imam Muslim memang muridnya Imam Bukhari. Ia mengunjungi Imam Bukhari untuk belajar. Teguh berprinsip. Tidak peduli apa kata orang.
Hal ini terjadi sampai akhirnya Imam Bukhari terusir dari Naisabur. (Mukhtashor Tarikh Damaski: 24/289).
Ketika beliau pergi tidak ada seorang pun yang mengantar dan berjumpa dengan beliau kecuali Imam Ahmad bin Salamah an-Naisaburiy. Beliaulah sahabat setia yang berani menunjukkan pembelaan terhadap Imam Bukhari. Di saat yang lain tak peduli, beliau setia menemani. Di saat yang lain terprovokasi, beliau tegar menyertai.
Imam Ahmad an-Naisaburi sempat berkata, bahwa kejamnya fitnah adz-Dzuhli, tidak ada lagi yang dapat menghentikannya.
Imam Bukhari hanya berujar:
وَأُفَوِّضُ أَمۡرِیۤ إِلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَصِیرُۢ بِٱلۡعِبَادِ
“Dan aku menyerahkan urusanku kapada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya,” (Surat Ghofir: 44).
Setelah itu beliau berdo’a:
“Yaa Robbi, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku tidak menghendaki kedudukan di Naisabur dengan cara keji, sombong, dan aku tidak nafsu akan kepemimpinan. Akan tetapi diriku enggan untuk pulang ke kampung halaman karena dominasi orang-orang yang menyimpang. Sungguh orang ini (Dzuhli) telah mengarahkan permusuhan denganku karena hasadnya terhadap Apa yang Allah berikan kepadaku dan tidak ada motif lain.”
Kata Imam Ahmad an-Naisaburi, “Aku mengabarkan semua sahabatku akan berita ini, dan demi Allah tidak ada seorang pun yang keluar mengantar beliau untuk perpisahan selainku. Aku bersama beliau ketika mulai berjalan keluar dari kota ini,” (Tarikhul Islam Imam Dzahabi: 6/140, Tarikhul Islam imam Dzahabi: 6/140).
Itulah yang terjadi dengan Imam Bukhari. Ulama terkemuka sepanjang sejarah. Tidak lepas dari fitnah dan angkara murka. Bahkan dari orang terdekatnya sekalipun. Apalagi kita.
Kita bukan Imam Bukhari. Bukan juga Imam Muslim. Kita hanyalah serpihan rengginang. Pelengkap dan penggembira di saat yang lain sudah tiada. Kita pelengkap yang tak sempurna. Namun bukan penggembira yang salah.
Hafalan hadits kita mungkin tak seberapa. Mengamalkannya pun jauh panggang dari api. Namun prinsip tegar membela yang benar, harus menjadi muara dari semua cita-cita.
Gusti Allah mboten sare. Becik ketitik olo ketoro. Yang benar akan nampak benar. Yang salah akan terlihat akhirnya.
Sungguh indah akhlak Imam Bukhari. Sungguh kuat prinsip Imam Muslim. Sungguh terpuji perilaku Imam Ahmad an-Naisaburi.
Kisah keteguhan prinsip.mereka melambangkan kesetiakawanan dalam kebenaran.
Dasar persahabatan mereka bukan kepentingan. Mencari-cari selagi butuh, mengiming-imingi dengan segudang janji, lalu pergi bak ditelan bumi. Tidak. Tapi, kebenaran. Karena itulah, keduanya tidak termakan oleh isu dan opini.
Biar sebesar apa pun fitnah bergelombang, biar layar robek, biar kemudi patah, pantang sikap surut ke belakang.
Begitulah memang, bagi seorang berakhlak mulia, khianat adalah sikap tercela. Apatah lagi menikam teman seiring, membunuh karakter sahabat seperjuangan. Aib baginya menusuk dari belakang.
Rahimallāhu al-Imām al-Bukhārī. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau.
*Disarikan dari berbagai sumber