JAKARTA (SALAM-ONLINE): Koalisi Masyarakat Indonesia Peduli Rohingya (KMIPR) bersama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Wahdah Islamiyah dan tokoh muda Muhammadiyah menyambangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengadukan penindasan yang dilakukan rezim Myanmar (Burma) kepada Etnis Muslim Rohingya.
Para tokoh itu, Muhammad Zaitun Rasmin (Wahdah Islamiyah), Bachtiar Nasir (MIUMI), Adnin Armas (Koordinator KMIPR) dan Mustafa B. Nahrawardaya (Muhammadiyah), diterima oleh Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution. Mereka meminta Komnas HAM untuk peduli terhadap penderitaan Muslim Rohingya yang mengalami penindasan sebagai manusia dan warganegara.
Dalam pertemuan itu diungkap, penindasan dan pengusiran terhadap Muslim Rohingya merupakan salah satu tragedi kemanusiaan yang sangat dahsyat dalam kurun abad ke-20 dan ke-21 ini. Bahkan PBB menyebutnya sebagai etnis yang paling teraniaya di abad ini.
Kini, diperkirakan masih ada sekitar 1.000 Muslim Rohingya yang tinggal di Myanmar. Namun, penguasa Burma tidak mengakui mereka sebagai warga negara. Mereka diberikan status sebagai pendatang ilegal.
“Ini fakta yang begitu jelas, telah terjadi penindasan yang luar biasa terhadap Muslim Rohingya. Mereka menderita, sejak tahun 1982 mereka diusir dan dicabut kewarganegaraannya, puluhan tahun masalah ini terus terjadi,” ujar Kordinator KMIPR Adnin Armas di Kantor Komnas Ham, Jakarta Pusat, Senin (22/6/2015).
Ia mengatakan, penindasan yang dilakukan terhadap Muslim Rohingya ini didukung penuh oleh pemerintah Myanmar. Karena itu, ia meminta Komnas Ham untuk segera turun ke kamp pengungsi, untuk segera menginvestigasi di lapangan.
“Masalah ini akan terus berlarut jika pemerintah Indonesia diam dan tidak mempunyai sikap tegas kepada pemerintah Myanmar. Dan Komnas Ham diminta untuk lebih lantang mendesak pihak-pihak terkait,“ pintanya.
Adnin menjelaskan bahwa Muslim Rohingya mengalami begitu banyak penyiksaan dan tindak kekerasan. Para wanita dan anak-anak bahkan keluarga mereka hancur akibat penindasan tersebut.
“Pembunuhan mereka alami, para wanita diperkosa dan terpisah dari suaminya, anak-anak kecil terpisahkan dari orangtuanya bahkan mungkin kedua orangtua mereka dibunuh akibat penindasan yang mereka alami. Kita sangat peduli dengan masalah ini, karena mungkin tidak banyak suku yang menderita seperti ini,“ ungkapnya. (EZ/salamonline)