Jakarta Haram Dipimpin Orang Bermental Vandalisme

–Oleh: MUHAMMAD MU’ALIMIN–

(Ketua DPC PERMAHI Jakarta Selatan, Ketua Umum HMI Komisariat Universitas Al Azhar Indonesia, Anggota FLP Jakarta)

Jakarta-1-jpeg.imageSALAM-ONLINE: Derasnya arus investasi yang membanjiri ibu kota menyebabkan ketimpangan tajam antara kaum kapitalis dan si miskin. Kemilau gedung-gedung pencakar langit Jakarta semakin terlihat palsu. Negara membiarkan kekayaan ditumpuk oleh satu dua orang, sedangkan jutaan terpaksa menjadi gembel.

Retorika Ahok yang katanya berani mati demi Jakarta adalah distorsi kosong yang terselip banyak sekali motif tersembunyi. Jangan-jangan semua itu demi memuaskan pemodal (sumbangan dana kampanye pengusaha) dan menjadi kendaraan politik menuju DKI-1 pada 2017 nanti.

Pemimpin harusnya bertanggungjawab penuh atas setiap airmata yang mengalir karena ketidakadilan. Jika kemanusiaan lebih mulia ketimbang urusan benar-salah? Penggusuran rumah warga miskin secara ‘brutal’ harusnya dicap sebagai kebijakan paling jahat di negara yang menganut prinsip-prinsip Ketuhanan!

Demokrasi macam apa yang melahirkan pemimpin bermental “komunis”? Apakah dengan alasan ‘’demi kepentingan umum’’ sehingga boleh seenaknya merampas properti rakyat? Kau bilang tanah itu milik negara sehingga kau seenaknya robohkan ‘’rumah illegal’’, tapi harusnya kau juga mikir, ini negara hukum Bung!

Negara hukum adalah negara yang setiap klaim pemilikan harus didasarkan pada hasil putusan pengadilan. Jika ada orang yang main gusur sana-gusur sini, harusnya bisa digugat dengan pasal pengrusakan barang (pasal 406 KUHP).

Gubernur macam apa yang mengutamakan penggusuran-perusakan ketimbang musyawarah? Ya, mana ada orang di dunia ini yang diam saja ketika rumahnya dirobohkan?

Baca Juga

Jika kau Presiden Korea Utara, silakan sesukamu kau ratakan setiap rumah yang kau tunjuk. Jika kau Presiden Tiongkok boleh-boleh saja kau hancurkan berkeping-keping tempat ibadah atau gerobak warga sesuka hatimu! Demi kepentingan umum semua itu sah bagi ajaran komunis! Tapi ingat, meskipun sama-sama sipit kau itu hidup di tanah Indonesia, Bung. Ini Jakarta, bukan Pyongyang! Kau itu Gubernur Jakarta, bukan Beijing, Ahok!

Kalau rumah-rumah kumuh kau anggap merusak keindahan, lalu kenapa kau biarkan pengemis terlantar di mana-di mana? Kalau bangunan ilegal orang miskin kau anggap menyebabkan banjir, kenapa kau membentuk/mengakui RT/RW dan alamat KTP di rumah-rumah itu? Kau tolak orangnya (warga) tapi kok mau terima pajaknya? Kau ini preman atau apa?

Gubernur harus bertanggungjawab atas keadilan sosial warganya. Pembersihan warga miskin dengan alasan kepentingan umum dan pembangunan ekonomi sudah tidak relevan karena alasan Hak Asasi Manusia. Harusnya Ahok di-Impeachment karena telah melanggar pasal 28 UUD 1945 tentang HAM. Orang miskin harus dijamin dan difasilitasi untuk mendapat akses ‘’pembelaan diri’’, bukan tiba-tiba dipaksa pindah. Itu cara-cara tidak agamis!

Jika maling ayam saja punya hak membela diri dan menyampaikan aspirasi keadilan menurutnya, maka orang miskin yang katanya menduduki tanah ilegal harusnya tidak diperlakukan seperti ‘’binatang’’.

Setiap sengketa antara pemerintah dan warga harus diselesaikan secara musyawarah. Kalau tidak ada solusi ya dicoba lagi atau pakai jalur hukum, namanya juga negara hukum, bukan langsung main bongkar saja! Ini terkesan kalau Gubernur tidak mau keluar duit untuk mengadakan forum rembuk atau membeli properti yang akan dihancurkan. Padahal siapa yang bisa membuktikan kalau tanah itu tanah negara? Sertifikat sekarang ini mudah sekali didapat atau direkayasa. Dan negara ini yang punya siapa kalau bukan rakyat?

Siapapun orangnya mari lawan arogansi, mari patahkan diktatorisme kebijakan negara. Apa yang dikampanyekan untuk kepentingan umum tidak selamanya demi rakyat. Bisa jadi itu ‘’pesenan’’ kaum kapitalis atau pemodal rakus penghisap darah orang miskin. Ayo lengserkan pemimpin yang tidak berketuhanan yang Maha Esa. Jakarta haram dipimpin orang bermental vandalisme, yang bertentangan dengan nlai-nilai agama yang ada di Republik ini. (**)

Baca Juga