JAKARTA (SALAM-ONLINE): Tiba-tiba jagat perpolitikan Indonesia kembali dikejutkan dengan usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menunjuk dua anggota Polri aktif sebagai Penjabat Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Ada apa?
Masa jabatan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, memang, akan berakhir pada 13 Juni 2018. Sementara masa jabatan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi selesai pada 17 Juni 2018.
Dengan demikian, karena pilkada serentak baru akan dilakukan pada 27 Juni 2018, jadi belum ada gubernur baru yang menggantikan.
Biasanya, pengalaman yang sudah-sudah, penjabat sementara kepala daerah itu bisa dengan memperpanjang jabatannya atau mengangkat seorang penjabat gubernur dari lingkungan Kemendagri atau daerah tersebut.
Tapi mengapa Kemendagri mengusulkan dua petinggi polri aktif itu sebagai penjabat gubernur di dua provinsi tersebut?
Untuk diketahui, Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Inspektur Jenderal Pol Mochamad Iriawan diusulkan menjabat sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat. Sedangkan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Pol Martuani Sormin diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Sejumlah kalangan menilai penunjukan dua perwira Polri tersebut sebagai penjabat gubernur bisa berdampak pada netralitas polri, khususnya dalam Pilkada Jabar karena di provinsi ini ada anggota polri yang menjadi bakal cawagub, yaitu mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan yang diusung PDIP.
Alasan penunjukan perwira tinggi polri aktif menjadi penjabat gubernur karena pilkada 2018, khususnya di dua provinsi tersebut, rawan dengan kerusuhan, tentu saja dipertanyakan.
Pilkada di Ibu kota yang berlangsung panas itu saja tetap bisa berjalan tanpa ada kerusuhan.
Menurut anggota DPR Sodik Mudjahid, adanya rencana atau usulan itu menunjukkan pemerintah dan polri sedang panik, tidak percaya diri dan tidak profesional.
“Ini hanya di era Jokowi pejabat polisi aktif (diusulkan) menjadi penjabat gubernur yang biasanya berasal dari Kemendagri atau provinsi tersebut,” ujar Sodik.
Seharusnya, kata Sodik, Polri terus menjaga dan meningkatkan profesionalismenya dengan bekerja menjaga keamanan dalam posisi sebagai polri, bukan dalam posisi sebagai gubernur.
“Polri juga menunjukkan ketidakpercayaan diri dalam melaksanakan tugas keamanan sebagai polri sehingga perlu posisi baru sebagai penjabat gubernur,” sesalnya.
Politisi Gerindra ini mengingatkan, untuk daerah di mana ada cagub/cawagub berasal dari Polri, maka hal itu akan membangun opini sebagai bagian dari desain perselingkuhan dan persekongkolan yang mengancam netralitas fungsi gubernur.
Ia menduga, pemerintah tidak percaya diri menghadapi pilkada di dua provinsi tersebut sehingga memerlukan dukungan polri yang selama ini sangat setia mendukungnya, walau sering harus bertindak tidak netral.
“Ini berbeda dengan TNI yang setia kepada pemerintah tapi tetap netral,” terangnya. (S)