Bangsa Ini Perlu ‘Dokter’
Mobil Esemka di Solo dimandikan sebelum diberangkatkan ke Jakarta. Mandi kembang tujuh rupa. Katanya supaya segalanya, termasuk proses uji emisi dan lainnya berjalan lancar. Dan, setelah dinyatakan tak lulus emisi, bukan berarti para “sponsor” Esemka itu pada insaf dan taubat dari praktik syirik. Perilakuk syirik, klenik, tahayul, bid’ah dan khurafat, tak pandang dari kelas masyarakat manakah, kaya, miskin, orang bodoh, orang pintar, pejabat, masyarakat biasa, dan sebagainya, rupanya sudah mendarah daging.
Lalu gonjang-ganjing sidang Nazaruddin yang menghadirkan kesaksian Engelina Sondakh belum lama ini masih jadi isu, disusul kesaksian yang menyudutkan Anas Urbaningrum. Sondakh dituding bersaksi palsu, lalu pihak Nazaruddin melaporkannya ke polisi. Sampai sekarang belum direspon polisi. Saksi yang menyudutkan Anas, juga dilaporkan ke polisi oleh kubu Ketua Umum Partai Demokrat itu, dan pihak kepolisian merespon dan segera memanggil saksi yang dituding berbohong!
Entah siapa yang dusta dalam kasus Wisma Atlet itu, yang jelas hobi berbohong sudah lama merasuk dalam jiwa “orang-orang yang dianggap terhormat” di republik ini. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah dianggap berbohong, karena ingkar untuk mengembalikan asas bernegara dan berbangsa ke dalam asas dan sistem Islam. Bung Karno pernah berjanji untuk menerima dulu UUD 45 karena situasi lagi tidak kondusif. Dalam pidatonya di Amuntai, Kalimantan Selatan, Bung Karno berjanji setelah situasi kondusif akan mengembalikan Piagam Jakarta dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Tapi, itu tak menjadi kenyataan. Ia dinilai berbohong. Padahal sebelumnya ia mengeluarkan air mata di hadapan Daoed Bereueh, juga Ki Bagus Hadikusumo, agar menerima dulu keadaan (maksudnya menerima Pancasila), dan setelah situasi tenang, barulah Piagam Jakarta dengan sistem Islam menjadi asas bangsa dan Negara ini.
Bung Hatta juga dituding berbohong, karena menyebut ada seorang Jepang yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia Timur keberatan jika “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” menjadi sila pertama. Dituduh berbohong, karena Bung Hatta tak mampu menyebut nama sosok si Jepun itu. Karenanya, di antaranya oleh Sejarawan dan Budayawan Ridwan Saidi, Hatta dianggap mengarang saja, hanya dalam rangka supaya tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dicoret dari Pancasila. Dan, nyatanya itu berhasil.
Rupanya penyakit tidak jujur berlanjut. Era Soeharto, parade kebohongan itu ditampilkan dalam legal formal dengan penyalahgunaan wewenang dan pengeliruan penafsiran konstitusi yang kala itu digugat oleh, di antaranya Petisi 50 yang dipimpin mantan Gubernur DKI Ali Sadikin. Secara kolektif dan massal dari beragam kelompok pernah digiring untuk menyatakan aksi ‘kebulatan tekad’ menjadikan Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” dan untuk kemudian memintanya kembali menjadi presiden.
Di era Presiden SBY, tudingan telah melakukan pembohongan publik pun tak pelak, juga jadi sorotan. Misalnya dalam kasus Bank Century, presiden mengaku tak tahu. SBY mengatakan waktu pengambilan keputusan bailout Century senilai Rp 6,7 trilyun itu dia sedang berada di luar negeri . Kata presiden, dia tidak dimintai keputusan dan arahan dan tidak menginstruksikan hal itu. Pengakuan ini disampaikan Presiden SBY pada 13 November 2010 menanggapi hasil rapat paripurna DPR.
Belakangan terungkap, Menteri Keuangan Sri Mulyani kala itu tercatat tiga kali mengirim surat kepada Presiden SBY terkait bailout Bank Century. Surat tersebut masing-masing dikirim tanggal 25 November 2008, 4 Februari 2009 dan 3 Agustus 2009. Surat pertama bahkan tak hanya ditandatangani Sri Mulyani, tapi juga Boediono yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia.
Tudingan bohong atas pemerintahan SBY yang juga ramai diberitakan adalah dari sejumlah tokoh lintas golongan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha). Sejumlah tokoh itu merilis 9 (Sembilan) Kebohongan Lama dan 9 (Sembilan) Kebohongan Baru Pemerintahan SBY.
Tak hanya presiden dan pemerintah yang dianggap berbohong, legislatif dan yudikatif pun dianggap melakukan hal yang sama. Dalam pemberitaan berbagai kasus, anggota DPR, Partai Politik, Politisi, Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara, dan sebagainya kerap saling silang dan merasa masing-masing pihak adalah yang benar, yang lain bohong. Rakyat dipertontonkan dengan adegan yang memuakkan.
Tidak jujur dalam pemerintahan, berpolitik dan penegakan hukum, jelas berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat kehilangan trust (kepercayaan). Tak ada yang layak jadi contoh. Aparatur Negara kehilangan wibawa. Rakyat menjadi berani dan bahkan melawan dalam bentuk anarkis. Tak takut lagi pada polisi. Bahkan polisi dibakar. Bentrok antarkelompok di tengah masyarakat bahkan kian melanda.
Apatis. Kehilangan pegangan. Hal ini makin diperparah lagi dengan kelakuan sosok-sosok yang mestinya jadi panutan dan tempat bertanya, tapi justru tak sesuai dengan harapan publik. Mereka yang mestinya menjadi “guru”—digugu dan ditiru—ternyata adalah ulama palsu, ustadz palsu, dai palsu, mubaligh palsu. Akhlak dan moral mereka sungguh sangat menyebal! Sementara ulama, ustadz, dai dan mubaligh yang benar dipasung, dikarangkeng, dibatasi, difitnah dan dijauhkan dari umat. Rakyat pun digiring untuk benci dan tak percaya pada ulama dan dai yang benar dengan berbagai cara dan modus. Cap teroris, wahabi, dan sebagainya menempel pada ulama dan dai tertentu. Salah kaprah. Teroris disamakan dengan Wahabi. Menyebut Wahabi, tapi tak tahu historis dan maksud Wahabi itu, apa! Pembodohan.
Tak berhenti sampai di sini. Pembodohan atas publik terus berlangsung berkelindan. Media, khususnya televisi menjadi tuntunan yang menggiring pemirsanya untuk melakukan praktik syirik, menyekutukan Allah SWT. Perilaku syirik dengan tayangan-tayangan, baik dalam bentuk berita, infoteinmen maupun sinetron menghiasi layar kaca.
Para dai televisi yang tampil sebagian besar memiliki pemahaman Islam yang cetek dan dangkal sehingga kerap sekenanya atau asal-asalan dalam menjawab pertanyaan pemirsanya. Pihak stasiun televisi lebih memilih sisi hiburannya dalam menampilkan dai televisi ketimbang aspek pencerahan dan pencerdasan. Dai yang tampil asal pandai ngecap sedikit, jadilah. Dengan pemahaman Islam yang pas-pasan—bahkan dangkal—sehingga sering keliru saat menyampaikan dan menjawab beragam pertanyaan.
Bagaimana ke depannya nasib rakyat dan bangsa ini jika para pemimpin dan ulamanya bermasalah? Bangsa ini perlu dokter. Jangan salah. Yang dimaksud bukan dokter medis yang mengobati fisik orang sakit. Bukan. Lebih dari itu. Kita perlu ‘dokter ruhani’, ‘dokter jiwa’, ‘dokter akhlak’, ‘dokter pendidikan’, bahkan ‘dokter politik’, ‘dokter hukum & keadilan’, ‘dokter ekonomi’, ‘dokter budaya & peradaban’, dan sebagainya.
Maka, jika bangsa ini ingin sehat ruhani dan jasmaninya, jiwa dan raganya, tolong lepas dan bebaskan para ‘dokter-dokter’ itu. Bebaskan mereka, baik dari penjara-penjara kalian maupun dari pengucilan, penyudutan dan fitnah dengan cap dan stempel yang dikelirukan—sebagai teroris, Wahabi, ekstrimis, dan lainnya. Berikan kesempatan para ulama dan dai yang benar untuk tampil mengobati penyakit kronis bangsa ini. Jika sebagian besar mereka saat ini berada dalam ‘pasungan’ untuk sebuah lakon yang sengaja dikelirukan, kelak kalian akan menyesal jika tak memberikan kesempatan mereka untuk turut terlibat membenahi problem akut bangsa ini. Percayalah!