JAKARTA (salam-online.com) Jauh-jauh hari Muhammadiyah sudah menyatakan tak ikut sidang itsbat untuk menetapkan awal Ramadhan dan 1 Syawal yang biasanya digelar oleh Kementerian Agama.
Demikian dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, saat ditemui wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (27/6/2012) lalu.
Alasannya, sidang itsbat tidak memberikan solusi terbaik pada perbedaan penanggalan yang terjadi selama ini.
“Sidang itsbat itu pada pikiran Muhammadiyah tidak perlu karena itu hanya pikiran subjektif pemerintah serta biasanya tidak ada musyawarah dan tidak ada diskusi. Seharusnya pemerintah mengayomi seluruh umat yang berbeda pendapat,” kata Din.
Muhammadiyah sendiri, telah memutuskan awal Ramadhan 1433 Hijriah akan jatuh pada 20 Juli 2012. Sementara awal shalat tarawih jelang puasa jatuh pada 19 Juli 2012.
“Muhammadiyah bisa menetapkan kapan satu Ramadhan, kapan satu Syawal, bahkan untuk 100 tahun yang akan datang karena ilmu untuk menentukan itu ilmu falak. Astronomi itu ilmu eksak. Al-Qur’an menyuruh kita untuk pandai berhitung,” terang Din.
Keputusan Muhammadiyah yang memulai 1 Ramadhan pada 20 Juli berpotensi menimbulkan perbedaan dengan ketetapan pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pemerintah menggunakan ketentuan awal bulan posisi hilal harus lebih dari dua derajat. Padahal, pada 19 Juli posisi hilal belum di atas dua derajat. Lha, ini sudah ketahuan posisi hilal.
Pemerintah sendiri lewat Menteri Agama sudah beberapa kali mengucapkan akan membahas penyatuan awal ramadhan dan Idul fitri dengan mengumpulkan sejumlah pakar di bidangnya masing-masing. Tahun lalu, saat muncul perbedaan awal Syawal, Menteri Agama Suryadharma Ali menyampaikan lagi rencana itu, tapi setelah itu hilang tak berbekas alias tak ada tindaklanjutnya. Jadi, cuma sekadar lontaran saja untuk kemudian tak ada followupnya. Tak ada keseriusan? Entahlah.
Jadi, untuk kesekian kalinya tahun ini ada potensi beda lagi? Padahal bersatunya awal Ramadhan dan idul fitri secara politis, sosiologis, ekonomis, budaya, dan lainnya, sungguh sangat punya nilai dan makna tinggi. Semua aspek ini bisa diurai keuntungannya. Utamanya, menunjukkan kedahsyatan persatuan Islam dan kaum Muslimin! Membuat ‘izzah, wibawa, terkesima dan segannya kaum kuffar! Tapi sayang, pemerintah di negeri ini tak berpikir ke sana.
Ironisnya, mungkin untuk menghibur diri atau mau ambil gampangnya, keluarlah kalimat dari pemerintah dan beberapa kalangan dengan nada bak orang bijak, “Indahnya perbedaan…!” Padahal, justru perbedaan dalam konteks awal Ramadhan dan Idul Fitri ini, terutama jika ditilik dari sisi politis-sosiologis, itu menurunkan wibawa, ‘izzah, dan jadi bahan tertawaan kaum kuffar! Membuat kaum anti-Islam jadi bersorak kegirangan.
Karenanya, justru yang indah dan elok itu adalah jika kita bersatu dalam awal Ramadhan dan idul Fitri! (salam-online.com)