Bebaskan Sandera Amerika di Gaza, Strategi Jitu Hamas Pecah Belah AS-‘Israel’

SALAM-ONLINE.COM: Hamas telah membebaskan sandera berkewarganegaraan ganda Amerika-“Israel”, Edan Alexander pada Senin (12/5/2025). Pembebasan itu digambarkan oleh pejabat zionis penjajah sebagai isyarat politik yang bertepatan dengan momentum kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Doha, Qatar.
Menurut media “Israel”, Yedioth Ahronoth, ini menandai kedua kalinya kelompok tersebut mempertimbangkan pembebasan Alexander sebagai persembahan niat baik kepada Presiden Donald Trump. Ketika perundingan langsung dilanjutkan pada Maret lalu, Hamas menuntut harga yang tinggi untuk pembebasan Alexander.
Namun, seiring berjalannya negosiasi, pejabat senior Hamas di Doha mulai memandang masalah ini hanya sebagai masalah antara kelompok itu (Hamas) dengan Washington. Meskipun menurut penilaian “Israel”, terobosan (pembebasan) itu terjadi hanya setelah ada tekanan dari Qatar.
“Israel” sebelumnya menuduh Qatar menyabotase inisiatif terbaru Mesir untuk mengamankan pembebasan sejumlah kecil sandera. Namun kali ini, kata para pejabat penjajah, Qatar “menyampaikannya”—tepat sebelum kedatangan Trump di negara Teluk tersebut.
Presiden AS diperkirakan tidak akan singgah di Kairo selama lawatannya di Timur Tengah. Tetapi akan mengunjungi Doha, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa Hamas dan Qatar mengatur waktu pembebasan tersebut sebagai isyarat diplomatik bersama.
Di “Israel” langkah ini dipandang warganya dan oposan Netanyahu sebagai kegagalan diplomatik penjajah itu. Sementara AS berhasil mengamankan pembebasan warga negaranya yang masih hidup, yang ditahan di Gaza.
“Israel” belum berhasil mengamankan kebebasan bagi lebih banyak sanderanya. Perkembangan tersebut sesuai dengan pendekatan “America First” Trump—seperti kesepakatan sebelumnya dengan Houthi Yaman yang mengesampingkan kepentingan “Israel” dan gagal menuntut diakhirinya serangan terhadap penjajah itu.
Sekarang, pemerintahan Trump hanya fokus pada pengembalian Alexander dengan selamat.
Menurut kantor Perdana Menteri penjajah, Benjamin Netanyahu, Alexander dibebaskan “tanpa syarat”–sebuah langkah langka Hamas, yang biasanya menuntut harga mahal untuk tentara “Israel” yang ditawan.
Meskipun demikian, pejabat “Israel” memperkirakan penjajah itu sekarang akan ditekan untuk mempertahankan gencatan senjata sementara, mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dan melanjutkan negosiasi—sebagian besar atas desakan Amerika.
Seorang pejabat senior Hamas, yang berbicara secara anonim kepada Associated Press, mengatakan pembebasan itu menggambarkan sebagai “hadiah untuk Presiden Trump dan sebagai balasannya ia akan memberikan hadiah yang lebih baik”.
Sebagai balasannya, Hamas memperoleh lebih dari sekadar modal diplomatik. Hamas mendapat kesempatan lain untuk mengganggu hubungan “Israel”-AS. Sebuah strategi jitu Hamas untuk “memecah belah AS dengan “Israel”.
Jika “Israel” menolak tuntutan Amerika (agar melanjutkan negosiasi dan mematuhi gencatan senjata), maka Hamas akan mengandalkan pengaruh politik dan pengakuan langsung dari pemerintahan Trump–keterlibatan AS yang kedua setelah perundingan 2024 yang gagal yang dipimpin oleh utusan Trump, Adam Boehler.
Bertentangan dengan laporan sebelumnya, sekarang dipastikan bahwa Boehler tetap menjadi utusan resmi AS untuk urusan penyanderaan dan bertindak dengan wewenang penuh.
Pembebasan Alexander juga dianggap sebagai keberhasilan utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff. Witkoff sekarang mencoba untuk mengubah pencapaian itu menjadi perjanjian yang lebih luas, yang dijuluki “kerangka kerja Witkoff”. Perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri perang dan mengamankan pembebasan semua sandera.
Masih belum jelas apa sebenarnya yang dijanjikan Witkoff kepada Hamas—atau apakah terobosan ini dapat membangun momentum untuk kesepakatan yang lebih besar.
Empat warga negara Amerika lainnya yang masih ditawan di Gaza, yaitu Omer Neutra, Itay Chen, serta warga negara ganda Gadi Haggai dan Judith Weinstein-Haggai, diyakini telah meninggal.
Pembicaraan dilaporkan sedang berlangsung untuk mengembalikan jenazah mereka. Boehler mengonfirmasi bahwa AS telah meminta pemulangan mereka.
Kantor Perdana Menteri penjajah menegaskan kembali pada hari Minggu bahwa negosiasi dengan Hamas “hanya akan terjadi di bawah tekanan”. Sementara Hamas berharap pembebasan Alexander akan memulai pembicaraan untuk mengakhiri perang.
Namun, untuk mengamankan pembebasannya, “Israel” nampaknya telah menyetujui gencatan senjata singkat, peningkatan bantuan kemanusiaan, dan kemungkinan penghentian sementara operasi ntelijen di Gaza.
Masalah lain yang belum terselesaikan adalah apakah “Israel” akan menerima kerangka kerja Witkoff, yang prinsipnya dilaporkan telah disetujui. Rencana tersebut ditentang keras oleh menteri Kabinet Keamanan sayap kanan penjajah, Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir, yang menolak kesepakatan apa pun yang melibatkan pembebasan tahanan atau penundaan serangan militer.
Usulan Witkoff mencakup gencatan senjata selama 50 hari, dimulai dengan pembebasan 11 sandera yang masih hidup pada hari pertama, diikuti dengan perundingan langsung antara “Israel” dan Hamas yang bertujuan untuk mengakhiri perang. Jika berhasil, sandera yang tersisa akan dibebaskan pada hari terakhir.
Namun, laporan sekarang menunjukkan Hamas dan AS sedang membahas gencatan senjata yang lebih lama, sekitar 70 hari, di mana negosiasi akan terus berlanjut.
Pandangan yang berlaku di “Israel” adalah bahwa hanya tekanan militer yang diperbarui dan diintensifkan yang akan membawa Hamas kembali ke meja perundingan dengan ketentuan yang menguntungkan “Israel”.
Pejabat penjajah sekarang khawatir AS akan mendorong kesepakatan yang berbeda. Yang kurang menguntungkan bagi “Israel”. (is)