Pasca Gencatan Senjata, Hamas Kembali Kuasai Sebagian Besar Wilayah Gaza

SALAM-ONLINE.COM: Diserang dan dilukai, tetapi tak tergoyahkan, pasukan Hamas kembali berpatroli di jalan-jalan Gaza segera setelah gencatan senjata dengan penjajah “Israel” berlaku.

Ini merupakan peringatan bagi geng-geng yang terkait dengan Zionis “Israel” dan para kolaboratornya, sekaligus pernyataan tentang siapa yang masih memerintah wilayah kantong Palestina yang dilanda perang tersebut.

Rencana 20 poin proposal gencatan senjata dari Presiden AS Donald Trump untuk Gaza membayangkan masa depan di mana Hamas tidak memainkan peran militer maupun politik.

Namun, para analis berpendapat bahwa realitas kompleks di lapangan—dan tidak adanya alternatif politik yang layak—menimbulkan keraguan serius tentang seberapa mungkin AS dan penjajah itu mampu meminggirkan Hamas.

“Hamas tidak kalah,” kata Azzam Tamimi, seorang akademisi dan penulis dua buku tentang Hamas, kepada Middle East Eye, Sabtu (18/10/2025).

“Pada akhirnya, ‘Israel’ terpaksa menandatangani kesepakatan dengan Hamas,” terangnya. Sebuah kesepakatan yang mengakhiri aksi genosida selama dua tahun, membuka jalan bagi bantuan kemanusiaan di Gaza, penarikan pasukan penjajah secara bertahap, dan pertukaran tahanan.

“(Perdana Menteri penjajah) Benjamin Netanyahu gagal mencapai salah satu tujuan utamanya untuk menghancurkan perlawanan (Hamas), apalagi tujuan-tujuan lainnya,” tambah Tamimi.

“Jadi bagaimana mereka bisa berharap Hamas menghilang? Hamas tidak kalah. Jika tidak menang, berarti tidak kalah.”

Setelah dua tahun serangan (genosida) dan pengepungan (blokade) tanpa henti, Hamas akan merasakan kemenangan awal: mereka teguh dalam melawan agresi “Israel”, dan akhirnya bernegosiasi langsung dengan AS untuk mengakhiri perang (genosida).

Semua mata kini tertuju pada bagaimana kelompok tersebut akan menyalurkan rasa kemenangan itu, dari konsolidasi jangka pendek hingga strategi jangka panjang.

Kontrol Keamanan

Segera dengan diberlakukannya gencatan senjata, Hamas berupaya untuk menegaskan kembali kontrol keamanan atas wilayah-wilayah Gaza setelah militer “Israel'” ditarik dari wilayah tersebut.

Hamas melancarkan tindakan keras yang luas terhadap geng-geng, penjarah bantuan, dan kolaborator “Israel”, yang telah memanfaatkan kekacauan selama berlangsungnya serangan (genosida) yang menargetkan warga sipil dan anggota Hamas.

Dalam beberapa hari, Hamas menangkap puluhan orang, sementara yang lainnya tewas dalam bentrokan. Setidaknya delapan orang, yang digambarkan sebagai “kolaborator dan penjahat”, dieksekusi di depan umum, di hadapan orang banyak.

Muhammad Shehada, seorang penulis dan analis Palestina yang tumbuh besar di Gaza, mengatakan langkah tersebut memiliki beberapa tujuan.

Sebagian tujuannya adalah untuk menindak geng-geng yang mengganggu perekonomian Gaza, yang telah dilakukan oleh kelompok-kelompok kriminal dengan menjual kembali bantuan di pasar gelap dan mengambil alih akses ke uang tunai.

Kehadiran Hamas juga bertujuan untuk melucuti senjata geng-geng tersebut dan mendapatkan kembali monopoli persenjataan di wilayah kantong itu.

Ketika “Israel” membunuh para pejuang Hamas, pasukan penjajah itu seringkali menyita persenjataan berat seperti roket, tetapi meninggalkan senjata ringan seperti senapan dan pistol. Beberapa senjata ini diserahkan kepada kelompok-kelompok saingan dan geng kriminal.

Hal ini nampaknya merupakan bagian dari strategi “Israel” yang disengaja untuk menabur benih kekacauan sipil.

Penegasan kembali kendali yang cepat telah menunjukkan bahwa, terlepas dari rencana Trump untuk menyingkirkan Hamas sepenuhnya, hal itu tidak akan berjalan mudah.

“Mereka tidak akan menjadi malaikat dengan mengatakan: ‘Oke, kami akan meninggalkan tempat ini setelah bertahan di posisi kami selama dua tahun perang dan genosida yang belum pernah terjadi sebelumnya’,” kata Shehada kepada MEE.

“Mereka saat ini sedang berusaha mengumpulkan pengaruh sebanyak mungkin.

“Mencoba untuk menegaskan kembali diri mereka di peta, menegaskan kembali pengaruh dan kendali mereka dan mengatakan kepada ‘Israel’ dan Amerika bahwa Hamas tidak dapat dikesampingkan atau diabaikan.”

Trump bahkan awalnya nampak mendukung tindakan keras Hamas yang “membunuh sejumlah geng jahat” sebelum mengubah arah dan mengancam akan “membunuh” kelompok perlawanan tersebut jika “terus membunuh orang-orang (geng jahat) di Gaza”.

Menurut Tamimi, Hamas dipercaya oleh warga Palestina untuk menertibkan geng dan kelompok kriminal.

“Hamas adalah satu-satunya kekuatan yang dipercaya warga Gaza untuk menjaga hukum dan ketertiban,” ujarnya.

“Itulah sebabnya mayoritas warga Gaza mendukung Hamas dalam menindak para gangster yang menyiksa warga, mencuri persediaan makanan mereka, dan membunuh atas nama Israel.”

Pemimpin suku Husni Salman Hussein al-Mughni, ketua majelis klan terbesar di Gaza, secara terbuka mendukung tindakan Hamas tersebut. Ia menyatakan bahwa Hamas memburu para penjahat yang telah membunuh anak-anak, menjarah bantuan, dan bekerja sama dengan “Israel”.

Persoalan senjata
Hamas yang mendapatkan kembali kendali keamanan atas sebagian wilayah Gaza – sementara AS, “Israel”, dan sebagian besar komunitas internasional menyerukan perlucutan senjata total – menciptakan garis patahan jangka panjang.

Hamas telah lama menyatakan bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjatanya sampai negara Palestina tegak berdiri (merdeka).

“Tidak seorang pun berhak menolak hak kami untuk melawan pendudukan/penjajahan,” tegas pejabat senior Hamas, Bassem Naim.

Dalam komentar yang lebih rinci dari Mohammed Nazzal, anggota politbiro Hamas lainnya, keputusan untuk menyerahkan senjata akan bergantung pada sifat program perlucutan senjata.

“Proyek perlucutan senjata yang Anda bicarakan, apa artinya? Kepada siapa senjata-senjata itu akan diserahkan?” tanya Nazzal.

Para diplomat Arab sebelumnya mengatakan bahwa para mediator sedang berdiskusi dengan Hamas terkait penyerahan senjatanya kepada pasukan penjaga perdamaian Arab, atau mengunci senjata jarak jauh seperti rudal alih-alih menghancurkannya.

Trump telah mengancam akan “dengan cepat dan mungkin dengan kekerasan” melucuti senjata Hamas jika diperlukan. Namun, strategi semacam itu nampaknya tidak akan berhasil.

Baca Juga

Shehada merujuk pada sebuah studi besar oleh Rand Corporation pada Agustus 2008, berjudul “Bagaimana Kelompok Teroris Berakhir”, yang mengkaji nasib kelompok-kelompok militan sejak tahun 1968 dan seterusnya.

Studi tersebut menemukan bahwa banyak kelompok berakhir setelah mengubah entitas militan mereka menjadi partai politik.

Studi tersebut juga menemukan bahwa kekuatan militer sangat jarang berhasil mengalahkan kelompok-kelompok semacam itu.

“Itulah jalan yang akan ditempuh Hamas,” kata Shehada. “Alternatif langsung yang akan diambil ‘Israel’ adalah solusi militer untuk menyelesaikan masalah Palestina melalui genosida.

“Tetapi sekarang mereka akan semakin memahami bahwa tidak ada solusi militer terhadap Palestina.

“Satu-satunya solusi yang tersisa adalah akumulasi politik dengan satu atau lain cara.”

Tanpa adanya jalur yang jelas menuju negara Palestina – atau bahkan disebutkan sebagai bagian dari rencana Trump – Hamas nampaknya akan mempertahankan setidaknya senjata pertahanannya untuk sementara waktu.

Menariknya, rencana Trump berbicara tentang “penonaktifan” alih-alih perlucutan senjata.

Penonaktifan senjata terjadi dalam Perjanjian Jumat Agung di Irlandia Utara, yang ditandatangani pada April 1998.

Senjata-senjata secara bertahap disimpan di sebuah depot, dan perlucutan senjata berlangsung selama beberapa tahun setelah pemenuhan perjanjian damai dipastikan.

Tidak jelas apakah Trump benar-benar memikirkan model ini. Politisi “Israel” telah berbicara tentang penghancuran semua jenis senjata dan infrastruktur, baik ofensif maupun defensif.

“Dalam sejarah modern, di Irlandia Utara, Kolombia, atau Afrika Selatan, perlucutan senjata dan demiliterisasi tidak pernah menjadi prasyarat proses perdamaian,” kata Shehada. “Itu selalu menjadi hasil akhirnya.”

Masa Depan Politik

Sumber yang dekat dengan Hamas mengungkapkan bahwa pimpinan kelompok tersebut di Gaza telah memberi tahu para pejabat Hamas di luar negeri bahwa mereka tidak akan menyerah dan hanya akan menerima penarikan penuh “Israel” dari wilayah tersebut.

Para pemimpin Hamas di Gaza menegaskan bahwa kelompok itu siap untuk terus berjuang lebih lama jika diperlukan.

Namun, jika perang berlanjut, ketidakpuasan mungkin akan tumbuh di antara dua juta warga Palestina yang hidup di bawah genosida.

Jajak pendapat yang dilakukan awal tahun ini menunjukkan bahwa Hamas telah kehilangan sebagian dukungan di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki, meskipun tetap lebih populer daripada rivalnya, Fatah.

Namun, mayoritas warga Palestina menentang perlucutan senjata, dan sebagian besar penduduk masih meyakini perlawanan bersenjata.

“Hamas adalah sebuah pemerintahan, sebuah partai politik, sebuah kelompok perlawanan bersenjata, dan sebuah aktor masyarakat sipil,” kata Shehada. “Orang-orang mungkin mendukung salah satu versi Hamas tersebut dan tidak mendukung yang lain.”

Ia mencatat bahwa Hamas populer sekaligus tidak populer.

Beberapa orang, termasuk mereka yang berada di dalam jajaran Hamas sendiri, telah mengkritik serangan mendadak 7 Oktober 2023 bagaimana perang tersebut dikelola, serta bagaimana kelompok tersebut berhasil dalam negosiasi dan perundingan rekonsiliasi Palestina.

“Pada saat yang sama, saya melihat tren lain di mana beberapa orang yang sebelumnya merupakan kritikus Hamas yang paling keras menjadi pendukung vokal terkuatnya karena genosida tersebut,” tambahnya.

Shehada mengatakan banyak orang di Gaza melihat bahwa ketika genosida sedang terjadi terhadap keluarga dan keberadaan mereka, seluruh dunia telah berpaling.

“Dan mereka melihat pasukan, orang-orang bersandal jepit dan sandal, keluar dari terowongan untuk berhadapan dengan (tentara ‘Israel’) dan mencoba mengusir mereka dari Gaza,” tambahnya. “Itulah dinamika paradoks yang ada.”

Pada akhirnya, Hamas akan merasa belum kalah, dan karena itu masih memiliki suara dalam masa depan Palestina.

“Para negosiator Hamas hanya membahas enam poin kunci awal dari 20 poin rencana Trump,” ujar Helena Cobban, salah satu penulis Understanding Hamas: And Why That Matters, kepada MEE.

“Mereka tidak mengatakan apa pun tentang 14 poin lainnya, baik yang mendukung maupun yang menentang. Sangat tidak realistis bagi siapa pun untuk membayangkan bahwa gerakan tersebut tidak akan memiliki peran dalam pemerintahan Gaza ke depannya.”

Cobban mencatat bahwa “Israel” berperang tidak hanya berhadapan dengan para pejuang Hamas, tetapi juga dengan tokoh-tokoh politik dan administratif di dalam dan di luar Gaza.

Tindakan tersebut termasuk membunuh pemimpin politik Hamas Ismael Haniyeh di Iran pada Juni 2024, serta menargetkan pejabat senior Hamas di Doha bulan lalu.

“Meskipun banyak pembunuhan dan pembunuhan yang dilakukan “Israel” terhadap anggota dewan pengarah Hamas yang mencakup seluruh wilayah, “Israel” tetap bertindak sebagai badan kepemimpinan yang koheren, termasuk selama pelaksanaan negosiasi,” kata Cobban.

Hamas telah menyatakan bahwa pada akhirnya mereka akan menyerahkan kendali administratif Jalur Gaza kepada badan Palestina. Mereka tidak tertarik pada pemerintahan dalam jangka panjang.

Kelompok ini menyadari potensi delegitimasi internasional dan boikot jika mereka memainkan peran aktif dan publik, mengingat reputasinya di mata Barat.

Namun, mereka masih akan berusaha untuk memiliki pengaruh dalam politik Palestina, mungkin, kata Shehada, melalui keterlibatan dalam Organisasi Pembebasan Palestina.

“Seberapa besar pengaruh mereka masih belum diketahui,” katanya. “Ada banyak parameter yang belum pasti, banyak hal yang tidak diketahui saat ini.” (is)

Baca Juga