Perempuan Sudan Ungkap Kekerasan Seksual dan Pembantaian Saat Mereka Menyelamatkan Diri dari El-Fasher
SALAM-ONLINE.COM: Kaum perempuan yang selamat dari penangkapan brutal Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di el-Fasher, Sudan, dan melarikan (menyelamatkan) diri ke kota-kota terdekat menggambarkan pemandangan mengerikan berupa kekerasan seksual, pemukulan, dan pembantaian massal saat mereka menyelamatkan diri dari kota tersebut.
Mereka memberikan kesaksian kepada Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) setelah melarikan diri dengan berjalan kaki ke kota Tawila, 50 km jauhnya. Beberapa perempuan berjalan kaki hingga al-Dabbah, 1.500 km dari el-Fasher — perjalanan yang ditempuh selama sembilan hari.
“Banyak mayat berserakan di jalan, orang-orang terbunuh di mana-mana, dan banyak anak-anak di jalanan yang kehilangan keluarga mereka,” ungkap Amina, salah seorang perempuan yang melarikan diri seperti dilansir Middle East Eye (MEE), Rabu (12/11/2025). “Pemerkosaan terjadi di depan mata kami, begitu pula pembunuhan.”
Sementara Fatima mengatakan ia dipukuli di depan putrinya, yang ia gendong di punggungnya selama perjalanan keluar dari el-Fasher.
“Mereka memerintahkan saya untuk menurunkannya dan mulai mencambuk saya. Mereka memukul dada saya dengan ponsel. Anak-anak saya pun mulai menjerit dan menangis,” kata Fatima.
Pengalaman pahit Soraya beda lagi. Ia mengungkapkan, bersama korban lainnya mengalami pelecehan seksual saat melarikan diri. Perempuan-perempuan lainnya terbunuh.
“Mereka menggeledah kami dengan cara yang tidak manusiawi. Seorang pria menggeledah perempuan seperti itu, dia bukan istrimu, kau tidak boleh menyentuhnya dengan cara seperti itu,” ungkapnya.
“Mereka bahkan memukuli dan membunuh perempuan di jalanan. Ada mayat-mayat berserakan di jalan. Kami meninggalkan begitu banyak mayat di belakang kami. Jika Anda tidak bisa bersembunyi dengan baik, mereka akan membunuh Anda.”
Menurut UNFPA, hampir 82.000 dari sekitar 260.000 warga sipil di el-Fasher telah berhasil melarikan diri sejak RSF merebut kota itu.
Menurut citra satelit, korban lainnya masih terjebak di kota. Rute keluar penting dari kota ditutup oleh RSF dalam beberapa hari terakhir.
Laboratorium Penelitian Kemanusiaan di Yale School of Public Health menguatkan laporan bahwa RSF membantai warga sipil yang mencoba melarikan diri dari kota di dekat tembok darurat yang dibangun di sekeliling kota.
Rekaman video yang dilihat oleh MEE juga menunjukkan beberapa mayat dan orang-orang terbunuh di dekat tembok tersebut.
‘Mereka membunuh putra saya’
Sementara Amira menambahkan bahwa setiap pria muda yang sehat dipaksa mengaku sebagai tentara (pemerintah) sebelum dipenjara atau dibunuh.
“Dari kelompok kami yang meninggalkan el-Fasher, mereka membawa 60 pemuda. Suami saya masih hilang. Kami tidak tahu di mana dia berada atau ke mana dia pergi,” katanya.
Soraya juga tidak tahu nasib putra kembarnya yang berusia 16 tahun. “Saya kehilangan putra-putra saya di el-Fasher,” ujarnya. “Saya tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal.”
Ia menambahkan bahwa saat mereka melarikan diri, para penyintas “dipermalukan”. Semua uang dan harta benda mereka dirampas.
Yang lainnya, Nadia, mengatakan bahwa rumah-rumah dijarah di el-Fasher, sebelum dibakar. Hewan-hewan juga diambil.
“Mereka membakar semua tanah dan tanaman kami. Mereka mengambil domba, keledai, dan sapi. Mereka tidak menyisakan apa pun milik kami,” katanya.
Putra Nadia terbunuh. “Tidak ada yang mereka ambil dari saya yang lebih menyakitkan daripada kematiannya. Dia adalah seorang guru di sekolah. Dia pernah kuliah. Dia memikul tanggung jawab atas seluruh keluarga. Mereka membunuhnya.”
RSF melakukan pembantaian massal dan pelanggaran saat menyerbu el-Fasher dua pekan lalu. Beberapa di antaranya didokumentasikan oleh para teroris RSF sendiri.
Beberapa penyintas mengatakan kepada MEE bahwa para pemberontak paramiliter (RSF) memerkosa, membunuh, dan menyerang warga sipil.
Perang Sudan meletus pada April 2023, ketika ketegangan yang telah lama membara antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF, yang dipimpin oleh M Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, meningkat menjadi konflik terbuka.
Kekerasan tersebut dipicu oleh ketidaksepakatan mengenai rencana untuk mengintegrasikan RSF ke dalam tentara reguler, tetapi dengan cepat berubah menjadi perang di seluruh negeri yang telah mengakibatkan kematian puluhan ribu orang (beberapa media internasional terkemuka menyebut 150 ribu lebih, sejak April 2023) dan membuat 13 – 14 juta orang mengungsi.
MEE melaporkan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) memasok senjata kepada RSF melalui jaringan jalur pasokan dan aliansi yang kompleks yang membentang di Libya, Chad, Uganda, dan Somalia.
Sejak perang dimulai, para pemberontak RSF telah melakukan pembantaian dan pelanggaran yang meluas, termasuk genosida di Darfur. Namun SAF juga dituduh melakukan kejahatan perang. (af)