Indonesia–Suriah: Saatnya Mengakhiri Jarak, Menghidupkan Kembali Spirit Bandung

Catatan Fahmi Salim

(Direktur Baitul Maqdis Institute)

SALAM-ONLINE.COM: Hubungan Indonesia dan Suriah bukan hubungan biasa. Suriah termasuk salah satu negara yang lebih awal menunjukkan simpati dan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia pasca 1945. Dalam sejarah diplomasi Indonesia, dunia Arab — termasuk Suriah — adalah bagian dari ekosistem solidaritas anti-penjajahan yang melahirkan semangat besar Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955: bahwa bangsa-bangsa merdeka harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak tunduk pada dominasi asing, dan saling menopang dalam menghadapi ketidakadilan global.

Namun hari ini, relasi Jakarta–Damaskus terasa janggal. Secara formal, hubungan diplomatik keduanya tidak pernah putus. KBRI Damaskus tetap beroperasi. Duta besar tidak ditarik. Tetapi secara politik simbolik, Indonesia tampak menjaga jarak dari pemerintahan baru Suriah pasca perubahan politik besar pada 8 Desember 2024, yang kini dipimpin oleh Presiden Ahmad Al-Syara.

Pertanyaannya bukan lagi apakah Suriah telah berubah, melainkan mengapa Indonesia belum berubah dan tampak lambat merespons perubahan itu.

Warisan “Kehati-hatian Ekstrem” dalam Diplomasi Indonesia 

Indonesia dikenal menganut prinsip politik luar negeri “bebas dan aktif”. Dalam praktiknya, prinsip ini sering diterjemahkan menjadi sikap sangat hati-hati: tidak menjadi yang paling depan dalam mengakui pemerintahan baru yang didukung oleh mayoritas rakyat Suriah, tidak terlalu cepat menunjukkan afiliasi politik, dan selalu menjaga ruang mundur jika situasi global berubah.

Dalam kasus Suriah, kehati-hatian ini diperkuat oleh fakta bahwa konflik di negara tersebut bukan hanya perang internal antara rakyat dan rezim berkuasa dalam konteks Arab Spring yang meledak di musim semi tahun 2011 silam, melainkan konflik berlapis yang melibatkan aktor-aktor pemain besar dunia: Rusia, Amerika Serikat, Iran, Turki, serta berbagai kelompok non-negara. Indonesia memilih berada pada posisi “mengamati dari jauh”, bukan karena memusuhi, tetapi karena tradisi birokratik diplomasi yang sangat konservatif dalam mengambil risiko simbolik.

Trauma Domestik: ketika Suriah Dicitrakan “Medan Radikalisme”

Salah satu faktor paling menentukan sikap dingin Indonesia justru berasal dari dalam negeri. Sejak 2014, Suriah masuk dalam narasi besar keamanan nasional Indonesia sebagai “teater radikalisme global” akibat perang global melawan ISIS. Banyak kebijakan antiterorisme Indonesia dibangun dengan Suriah sebagai simbol ancaman.
Selama hampir satu dekade, publik Indonesia dijejali penyederhanaan: Suriah = ISIS, Suriah = terorisme, Suriah = ancaman, sehingga muncul tagar #JanganSuriahkanIndonesia. Narasi ini mengakar dalam pelatihan keamanan, kurikulum kontra-terorisme, bahkan wacana media arus utama.

Lepas dari dinamika nasional kita, realitas Suriah selalu lebih kompleks. Tidak semua kelompok oposisi Suriah adalah ISIS, dan tidak semua perubahan politik berarti kemenangan ekstremisme. Pemerintahan baru di bawah Ahmad Al-Syara berasal dari faksi pejuang lokal anti Assad yang selama ini berseteru dengan ISIS, bukan bagian darinya. Bahkan, berbagai negara besar — dari Turki, Uni Eropa, Amerika Serikat, China hingga Rusia — mulai memulihkan hubungan diplomatik dengan pemerintahan baru Suriah.

Indonesia tampak tertinggal dalam aspek ini, bukan karena kurang informasi, melainkan karena beban psikologis dan institusional atas trauma kebijakan kontra-terorisme masa lalu.

Jalur Kedua Diplomasi

Yang menarik, hubungan sosial keagamaan antara rakyat Indonesia dan Suriah justru tetap hidup dan hangat. Hubungan ulama, pesantren, lembaga kemanusiaan, dan organisasi masyarakat sipil Islam berjalan intens selama bertahun-tahun, bahkan saat konflik paling keras berlangsung.

Solidaritas kemanusiaan, bantuan rakyat Indonesia untuk korban perang Suriah, serta komunikasi antar komunitas tidak pernah benar-benar padam.

Ada paradoks yang nyata: diplomasi rakyat berjalan lebih cepat dan lebih tulus dibanding diplomasi negara yang terasa sangat dingin. Saat negara terjebak dalam kalkulasi politis, sementara masyarakat Indonesia bergerak dalam naluri kemanusiaan.

Kunjungan Menteri Wakaf Suriah ke Jakarta dan disambut Menteri Agama Nasaruddin Umar pada 31 Oktober lalu, cukup melegakan dan memberi sinyal pemulihan hubungan antara kedua bangsa bersahabat.

Baca Juga

Palestina Titik Temu Masa Depan

Indonesia dan Suriah memiliki kepentingan strategis yang semakin beririsan hari ini: Palestina. Pasca peristiwa Taufan al-Aqsha, isu Palestina kembali menjadi pusat moral dunia Islam dan masyarakat internasional. Dalam konteks ini, posisi Suriah sangat penting secara geopolitik.

Kestabilan Suriah berpengaruh langsung pada peta kekuatan kawasan, poros perlawanan, serta jalur diplomasi politik Timur Tengah.

Indonesia selama ini dikenal konsisten membela Palestina. Namun kekuatan diplomasi itu akan lebih bermakna jika dijalankan bersama negara-negara yang berada di jantung kawasan, salah satunya Suriah. Bukan dalam logika blok militer, tetapi dalam logika solidaritas politik, kemanusiaan, dan moral global.

Hubungan Indonesia–Suriah seharusnya tidak hanya dirawat sebagai kenangan sejarah, tetapi sebagai energi masa depan.

Kehangatan di tingkat rakyat sudah nyata: ulama, lembaga kemanusiaan, pesantren, serta organisasi masyarakat Indonesia terus terhubung dengan Suriah. Yang dibutuhkan hari ini adalah keberanian negara untuk menyelaraskan kebijakan formal dengan denyut solidaritas masyarakatnya.

Suriah — siapapun pemimpinnya — adalah simpul penting geopolitik Timur Tengah. Mengabaikan atau menjaga jarak berlebihan dengan Damaskus justru melemahkan posisi Indonesia sendiri dalam advokasi global bagi Palestina.

Mengatasi Stigma Keamanan

Normalisasi hubungan dengan Suriah baru bukan berarti mengabaikan ancaman radikalisme. Indonesia tetap perlu menjaga kewaspadaan terhadap jaringan terorisme global. Namun kebijakan luar negeri tidak bisa terus disandera oleh ketakutan masa lalu akibat identifikasi dan generalisasi yang keliru terhadap aktor politik Suriah.

Perlu dibedakan secara tegas mana konflik politik suatu negara dan mana kejahatan teror lintas negara. Stigmatisasi permanen hanya akan membuat Indonesia kehilangan peluang strategis dan merusak tradisi diplomasi independennya sendiri.

Menghidupkan Kembali Roh Bandung

Indonesia tidak kehilangan kehormatannya jika lebih terbuka. Sebaliknya, Indonesia justru menghidupkan kembali jati dirinya sebagai negara pelopor solidaritas global Selatan–Selatan sebagaimana diwariskan KAA Bandung.

Suriah bukan sekadar isu luar negeri. Ia adalah cermin bagaimana Indonesia memaknai kemerdekaan, solidaritas, dan peran moralnya di dunia. Jika Indonesia ingin tetap relevan sebagai suara keadilan global, maka jarak simbolik itu sudah saatnya diakhiri.

Indonesia dan Suriah: dua bangsa sahabat, seharusnya berjalan lebih dekat – untuk Palestina, untuk perdamaian, dan untuk martabat bangsa-bangsa merdeka.

Selamat kepada rakyat Suriah atas peringatan satu tahun kemenangan revolusi pada 8 Desember 2025. Semoga cita-cita mereka untuk menegakkan kehormatan, kemerdekaan dan keadilan sosial tercapai dengan sebaik-baiknya. []

Jakarta, 9 Desember 2025

Baca Juga