Refleksi Jihad Aceh 2010

Jihad Aceh yang terjadi pada awal Maret 2010 begitu mengagetkan. Ketika sebelumnya masyarakat disibukkan dengan gonjang-ganjing Century, begitu muncul berita jihad Aceh, langsung Century dilupakan. Mengagetkan karena sebelumnya Aceh dikenal sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sangat bercitra lokal, berubah menjadi basis Al-Qaeda yang bercitra global.

Lebih mengagetkan lagi, mereka – yang selalu mendapat sebutan teroris itu – melakukan perlawanan dalam bentuk adu senjata secara terbuka di alam bebas. Hasilnya sungguh mengegetkan, beberapa anggota densus 88 yang dicitrakan sebagai pasukan preman seperti Blackwater – lengan bajunya dilinting untuk menonjolkan kesan macho – bisa dibunuh oleh mereka.

Sontak, berita Al-Qaeda Aceh menjadi boming. Belum reda panasnya kontak senjata di Aceh, segera disusul dengan tertembaknya (Ab) Dulmatin alias Amar Usman yang kepalanya dihargai 10 juta dolar oleh Amerika. Media masa hingar bingar memblow-up peristiwa ini.

SBY yang dirundung duka dengan tekanan bertubi-tubi terkait kasus Century, sontak wajahnya sumringah dan berseri-seri. Ia mendapat amunisi bagus untuk menutupi kasus Century. Di sisi lain, ia yang tengah berkunjung ke Australia dan mendapat “kehormatan” untuk menjadi pembicara di parlemen Australia – konon baru 5 kepala negara yang diberi kesempatan itu. Ia dengan mengucap “alhamdulillah” melaporkan  keberhasilan menangkap ‘gembong teroris’  yang selama ini diincar.

Banyak analisa yang beredar di tengah masyarakat. Tapi sayang, umumnya terbelah dalam dua kubu yang sama-sama tidak benar dalam menyikapi masalah ini. Memandang masalah dengan kacamata yang salah.
Kubu Pertama: Penganut Teori Konspirasi
Penganut mazhab ini melihat jihad Aceh sebagai konspirasi SBY dan kepolisian RI untuk mengalihkan perhatian semata dari kasus Century yang puncaknya pada awal Maret 2010 lalu. Atau, konspirasi pematangan situasi untuk memberangus kaum radikal agar tercipta keamanan maksimal saat kunjungan Obama ke Indonesia yang dijadwalkan akhir Maret. Tetapi tertunda.

Teori konspirasi esensinya adalah mekanisme “menyalahkan” musuh dengan menutup mata bahwa gerakan perlawanan di tengah umat Islam sejatinya realitas yang tak bisa ditolak. Teori konspirasi selalu berkonotasi bahwa musuh Islam amat hebat, bisa merancang apa saja dan merealisasikannya laksana alur cerita film, sementara umat Islam hanya sekawanan “kambing congek” yang bodoh dan tertindas. Teori konspirasi dilandasi pandangan bahwa sutradara segala kejadian di alam semesta adalah Yahudi, Israel, AS, Eropa, CIA, BIN, Kepolisian, dan seterusnya. Teori ini menihilkan takdir Allah, kemampuan mujahidin dan umat Islam. Apapun kejadian yang merugikan umat Islam, selalu jawabannya sama: ada konspirasi Yahudi di baliknya. Seolah Yahudi “Penguasa Alam Semesta” yang seluruh rencananya dapat terjadi laksana skenario film di tangan sutradara.

Misalnya, ketika membedah serangan WTC yang meruntuhkan simbol ekonomi AS, para penganut teori konspirasi terbelenggu keyakinan bahwa itu semua bikinan AS. Usamah bin Ladin hanya pion yang dimanfaatkan oleh AS untuk mengacak-acak umat Islam. Buktinya? Dahulu saat Afghanistan melawan Uni Sovyet, mujahidin mendapat sokongan dari AS. Di dalamnya termasuk Usamah bin Ladin.

Mata rantai logika yang disusun, lalu kesimpulan yang dihasilkan sangat menggelikan. Mereka tidak sadar, teori ini bisa menyeret kesimpulan lain; bahwa Nabi Musa as sebenarnya antek Fir’aun. Dalilnya? Karena pernah diasuh Fir’aun di istananya.
Para penganut mazhab konspirasi tidak percaya bahwa mujahidin bisa melakukan serangan spektakuler 11 September itu. Mereka terpenjara oleh pengalaman umat Islam yang terjajah sekian lama, tak mungkin ada di tengah umat Islam yang mampu melakukan perlawanan kepada musuh.

Para penganut mazhab konspirasi berdalih, teknologi AS demikian canggih sehingga mustahil ada pesawat sipil yang lolos dari intaian radar AS, di negerinya sendiri. Mereka melupakan Ke-Maha Kuasa-an Allah, yang bisa menjadikan api yang pasti membakar, tidak memberi efek membakar bagi Ibrahim as. Mereka lupa, bahwa takdir hancurnya WTC justru dengan membuat kaum Yahudi mengendus rencana penyerangan, dan mereka sengaja membiarkannya demi mengobarkan perang melawan umat Islam yang memang mereka inginkan. Inilah jalan takdir yang Allah kehendaki untuk hancurnya WTC.

Para penganut mazhab konspirasi salah dalam  menyimpulkan. Mereka menyangka, sikap Yahudi yang membiarkan penyerangan berjalan mulus merupakan bukti konspirasi antara AS dengan Usamah bin Ladin. Subhanallah… Gara-gara teori menyesatkan ini, mereka menuduh mujahid yang prestasi jihadnya diakui dunia sebagai antek AS. Menuduh tokoh jihad sebagai pengkhianat hanya disebabkan teori konspirasi.

Penganut mazhab ini sangat banyak jumlahnya. PKS, HTI dan hampir seluruh elemen umat Islam yang beraliran perlawanan tapi modernis menggunakan mazhab ini. Lihat misalnya situs Eramuslim dan Hizabuttahrir. Analisanya selalu dilandasi teori konspirasi. Menyedihkan!

Kedua: Penganut Neo-Murji’ah
Penganut mazhab ini yakin seratus persen terhadap informasi yang datang dari pihak pemerintah, dalam hal ini kepolisian. Bahwa pelaku adalah kalangan umat Islam yang dengan sengaja melawan pemerintah yang “sah”. Penganut Neo-Murji’ah mengambil sikap memusuhi para pelaku, dan percaya bahwa kejadiannya memang benar, bukan rekayasa atau hasil konspirasi tertentu, misalnya dari pihak pemerintah.

Penganut mazhab ini umumnya dari kalangan Salafi Murji’ah. Mereka menolak teori konspirasi, tapi di sisi lain, menghujat mujahidin dengan kalimat yang tajam. Biasanya menyebutnya sebagai Khawarij. Silakan lihat fenomena ini misalnya di situs-situs SM (Salafi Murji’ah) dan Radio Rodja Cileungsi. Salah satu tokoh penting mazhab ini Zainal Abidin (pendiri radio Rodja).
Kesalahan mazhab ini terletak pada kebenciannya yang membabi buta terhadap mujahidin. Mereka sama sekali tak mau mengakui status para “teroris” sebagai mujahidin. Bagi mereka para mujahidin lebih dibenci dibanding kebencian mereka terhadap George Bush, Ariel Sharon, Geert Wilders, dan tokoh-tokoh perusak Islam lain.

Baca Juga

Penulis heran, jangan-jangan mereka belum pernah mempelajari konsep Wala’ wal Bara’ dengan benar. Atau kalaupun mempelajarinya, pasti dengan persepsi yang salah. Mereka sangat mencintai Sunnah, tapi sayang tidak mampu memilah mana musuh dan mana kawan. Mereka mengidentikkan istilah Teroris dengan Khawarij. Hasilnya, menurut mereka, Teroris akan menjadi anjing-anjing neraka Jahannam!

Mazhab Wasath (Aliran Pertengahan)
Bertolak belakang dengan hujatan kaum SM, penganut mazhab wasath dengan penuh rasa cinta menyebut mereka yang diberi gelar Teroris sebagai Mujahidin. Tentu saja Teroris yang muslim, dan ada kaitannya dengan membela Islam dan umat Islam. Bukan Teroris seperti Tentara Basque di Spanyol yang beragama Kristen.

Demikian pula, tak mau memandang jihad Aceh dengan teori konspirasi. Semuanya benar adanya, dilakukan oleh kalangan umat Islam yang sangat merindukan jihad dan mati syahid. Mereka termotivasi pahala yang demikian menggiurkan untuk aktivitas jihad dan karunia mati syahid. Adapun kejadiannya yang menyusul ramainya skandal Century, sama sekali tak bisa dipahami bahwa jihad Aceh hasil rekayasa kepolisian. Ini semata takdir Allah, yang boleh jadi sebagai bentuk istidraj untuk SBY agar ia merasa disayangi Allah karena menyelamatkannya dari skandal Century. Padahal, tentu saja SBY bukan sosok yang pantas mendapat pertolongan dari Allah dalam konteks kasih sayang. Tetapi “pertolongan” dalam konteks istidraj.

Pada sisi lain, mazhab wasath juga tidak membela jihad Aceh dengan membabi-buta sebagai kebenaran mutlak tanpa cela. Mazhab ini tetap memberikan analisa kritis atas amaliah jihad Aceh dengan catatan-catatan evaluasi, agar menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Sama sekali bukan karena faktor benci atau dengki. Tapi semangat saling menasihati dengan cinta. Rabbana la taj’al fi qulubina ghillan lilladzina amanu !
Refleksi ini ditulis dengan paradigma mazhab wasath. Maka, akan terasa menyakitkan bagi yang mendukung jihad Aceh dengan membabi-buta seolah tanpa cacat. Mohon maaf.

Menghidupkan Jihad Aceh
Jihad Aceh mencoba memelihara bumi Aceh yang penuh berkah agar tetap beraroma jihad, melanjutkan apa yang dilakukan sekian lama oleh Allah Yarham Daud Beureueh (Baca: Ber’eh) dengan gerakan DI/TII-nya. Pada zaman yang lebih tua, perang Sabil yang dilakukan rakyat Aceh melawan kafir Belanda.

Bumi jihad Aceh sempat dikangkangi oleh perlawanan dengan aroma kesukuan; sentimen Aceh melawan Jawa dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan matinya ruh perlawanan GAM – karena memang ruh kesukuan sejatinya lemah – maka terbuka peluang untuk membersihkan akidah rakyat Aceh dari sentimen kesukuan tersebut. Dikembalikan kepada akidah Islamiyah, yang karenanya jihadnya harus dengan paradigma fi sabilillah, bukan fi sabili GAM.

Namun sayang, tampaknya misi ini belum berhasil direalisasikan oleh pelaku, karena rakyat sudah sangat pro pemerintah setelah trauma dengan dampak sepak terjang GAM pada masa lalu. Mereka sudah terlanjur trauma terhadap apapun yang berbau senjata. Mereka sudah lelah dengan kekerasan.

Trauma ini hanya bisa diobati dengan dakwah, yang meluruskan rakyat Aceh dari akidah Nasionalisme atau Kesukuan dan kembali kepada akidah Islamiyah. Didakwahi untuk cinta jihad, mati syahid dan benci kepada sistem non Islam.
Pilihan Aceh untuk dijadikan front jihad, dan wilayah manapun di Indonesia, sesungguhnya perlu dikaji lebih dalam. Jihad membutuhkan “pemicu” sehingga bisa menarik umat Islam dalam jumlah massal untuk bergabung. Jika pemantiknya tidak cukup kuat, masyarakat tak tergerak untuk mendukung jihad. Faktanya, pelaku sama sekali tak memikirkan faktor pemantik ini. Mereka hanya menjadikan fardhu-nya jihad dan kemuliaan mati syahid sebagai pemantik. Padahal umat Islam sudah demikian terbelenggu oleh materialisme dan kenikmatan hidup (yang damai).

Pertanyaan masyarakat belum akan terjawab, jika sekiranya mereka sudah terpanggil mendukung jihad Aceh: memangnya jihad melawan siapa jika lokasinya di Aceh? Pertanyaan ini ternyata lebih fasih dijawab oleh polisi; tuh kan mereka ini orang-orang jahat, tidak ada musuh yang jelas kok ngajak perang. Mereka hanya mau membuat onar. Jika masyarakat Aceh ikut, hanya akan menambah kesengsaraan saja. DAKWAH POLISI ini terbukti lebih manjur dan lebih simpel, sehingga mudah dipahami masyarakat.

Keberhasilan Abu Mus’ab Az-Zarqawi menghidupkan jihad di Iraq karena ada pemicu yang sangat kuat, yakni hadirnya penjajah asing.
Pemantik yang digunakan oleh pelaku hanya kosa kata jihad, fardhu ‘ain, Al-Qaeda dan mati syahid. Padahal kata ini masih sangat absurd di kalangan masyarakat yang mendiami sekitar lokasi “proklamasi jihad” Aceh tersebut. Bagaimana mungkin jihad di gunung bisa eksis, jika masyarakat di kaki gunung tidak mendukung, memberi bantuan logistik dan lain-lain. Dalam hitungan hari pasti akan digulung dengan mudah.

Para mujahid Aceh tampaknya bermazhab bahwa jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrem lagi, menjadikan mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat, pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid), ia sedang merancang kekalahan.
Bersambung …..

(Sumber: elahakimi.wordpress.com)

Baca Juga