
JAKARTA (SALAM-ONLINE): Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid berupaya meluruskan anggapan keliru sejumlah media massa dan masyarakat yang dengan mudah mengaitkan tindakan pembakaran umbul-umbul merah putih yang dilakukan seorang pengasuh santri Ponpes Ibnu Mas’ud Bogor dengan tuduhan bahwa pesantren itu merupakan “sarang terorisme”.
Menurutnya, adanya insiden pembakaran itu tidak serta merta menjadikan pesantren yang terletak di kecamatan Sukajaya, Bogor, Jawa Barat itu dapat dikategorikan sebagai “sarang teroris”—seperti diberitakan sejumlah media asing.
“Insiden pembakaran umbul-umbul itu tampaknya ingin dilihat sebagai sikap kolektif (pesantren). Kecenderungan seperti itu tampaknya keliru. Karena kalau ada persoalan pembakaran, itu adalah tanggung jawab perorangan, itu pun harus diikuti bukti-bukti hukum,” jelas Usman di Sekretariat Amnesty International Indonesia, Gedung HDI Hive, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2017).
“Kalaupun ada anak santri, katakanlah ada yang memiliki hubungan dengan dugaan ‘terorisme’, itu tidak bisa disangkutkan dengan ‘terorisme’. Penghukuman kolektif semacam itu salah,” tegasnya.
Akibat insiden ini, sejumlah massa dari Muspida (musyawarah pimpinan daerah) dan Muspika (musyawarah pimpinan kecamatan) berupaya menggeruduk pesantren Ibnu Mas’ud dan menuntut agar wadah belajar para penghapal Al-Qur’an itu dibubarkan. Usman juga menyayangkan aksi ini didukung oleh pejabat daerah yang ikut-ikutan hendak melakukan pembubaran paksa.
Usman menilai, massa ataupun pejabat daerah tidak dapat dengan sewenang-wenang menuntut pembubaran paksa suatu lembaga ilmu. Untuk melakukan itu, perlu melalui proses hukum dengan alasan dan bukti yanng jelas.
“Apakah umbul-umbul merupakan bendera? Ini tidak dapat digunakan untuk menutup paksa pesantren itu. Bagaiamapun juga santri di pesantren itu menuntut ilmu. Karena tanpa proses hukum yang memadai akan dianggap melakukan pelanggaran HAM,” terangnya. (al-Fath/Salam-Online)