Bantah Ada Hubungan dengan Al-Qaidah dan ISIS, ARSA Muncul karena Rohingya Dibantai

Pejuang Rohingya, ARSA, yang berbasis di Rakhine, muncul pada Oktober 2016 lalu, sebagai respons dari kekerasan dan genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Kelompok ini menegaskan tidak memiliki hubungan dengan “kelompok asing bersenjata” mana pun.

Pemimpin Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), Ataullah Abu Amar Jununi (tengah). (Sumber: ARSA video YouTube screengrab/Aljazeera)

SALAM-ONLINE: Arakan Rohingya Solidarity Army (ARSA), gerakan yang melakukan perlawanan terhadap militer di wilayah barat Myanmar, Rakhine, menolak tuduhan bahwa mereka memiliki hubungan dengan Al-Qaidah, ISIL (juga dikenal sebagai ISIS) atau kelompok bersenjata lainnya.

Arakan adalah istilah lain untuk Rakhine, negara bagian barat Myanmar dimana sebagian besar warga Rohingya tinggal.

Kelompok ini memperingatkan pejuang asing agar tidak memasuki wilayah yang tengah dilanda aksi kekerasan militer Myanmar itu.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Kamis (14/9/2017), ARSA mengatakan bahwa pihaknya “tidak memiliki hubungan dengan Al-Qaidah, ISIL (ISIS), Lashkar-e-Taiba atau kelompok bersenjata transnasional lainnya.

Dikatakan bahwa pihaknya tidak menyambut keterlibatan salah satu entitas (asing) dalam krisis ini. ARSA  juga meminta negara-negara di kawasan ini “untuk mencegah kelompok bersenjata memasuki Arakan (Rakhine) dan membuat situasi yang sudah buruk menjadi lebih buruk”.

Pernyataan tersebut juga menyatakan bahwa kelompok ini prihatin dengan situasi kemanusiaan yang memburuk di Rakhine. Mereka meminta lembaga bantuan dan organisasi non-pemerintah (LSM) untuk mengunjungi daerah yang tengah dilanda krisis itu dan memberikan bantuan untuk menyelamatkan orang-orang yang telah terkena dampak kekerasan dari militer Myanmar tersebut.

Baca Juga

Seorang Muslim Rohingya yang tinggal di perkampungan Rakhine di Buthidaung mengatakan kepada Aljazeera bahwa tidak mungkin pengumuman terbaru ARSA akan mempengaruhi dukungan internasional demi semangat Rohingya.

“Selama bertahun-tahun masyarakat internasional telah mengetahui bahwa tidak ada kelompok ‘teroris’ di Rakhine. Meskipun ARSA telah menjauhkan diri dari kelompok semacam itu hari ini, jelas, tetangga dan dunia tidak tertarik untuk membela kami,” ujarnya seperti dilansir Aljazeera, Kamis (14/9).

ARSA, sebelumnya dikenal sebagai Harakatul Yakeen, pertama kali muncul pada Oktober 2016. Kemunculannya adalah sebagai respons dari kekerasan dan genosida yang dilakukan oleh militer teroris Myanmar dan gerombolan ekstremis Buddhis terhadap minoritas Muslim Rohingya.

Dengan kata lain, dikatakan, kemunculan ARSA adalah untuk memberikan perlawanan, dimulai dengan menyerang pos-pos tentara Myanmar. Dalam sebuah pernyataan video berdurasi 18 menit yang dikeluarkan Oktober 2016 lalu, Ataullah Abu Amar Jununi, pemimpin ARSA, menyebut serangan yang mereka lancarkan sebagai pembelaan diri karena tentara Myanmar telah memprovokasi dengan melakukan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya.

“Selama lebih dari 75 tahun terjadi berbagai kejahatan dan kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya … Oleh karena itu kami melancarkan serangan (membela diri) pada 9 Oktober 2016—sebagai pesan bahwa jika kekerasan tidak dihentikan, kami memiliki hak untuk membela diri,” kata Abu Amar.

Maung Zarni, seorang warga non-residen di Pusat Eropa untuk Studi Ekstremisme, mengatakan kepada Aljazeera bahwa gerakan perlawanan ARSA muncul karena “genosida secara sistematis” yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga Muslim Rohingya. (S)

Sumber: Aljazeera

Baca Juga