JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pasca Aksi Bela Islam, tak bisa dipungkiri bahwa terjadinya berbagai penangkapan terhadap Ulama dan Aktivis Muslim oleh aparat dianggap banyak kalangan sebagai bentuk politik balas dendam.
Orang-orang yang berada di pihak terdakwa penistaan agama, Ahok, di tubuh penguasa, dianggap dalang dari kriminalisasi Ulama dan Aktivis tersebut.
Politisasi hukum oleh penguasa pun dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga negara.
Hal itu, terlihat jelas saat tuduhan yang ditujukan terhadap Ulama dan Aktivis terkesan sebagai pesanan, buatan dan dipaksakan. Pasal-pasal makar, pencucian uang, drama ‘Balada Cinta Rizieq’ sampai penerbitan Perppu Ormas membuat kesan itu semakin nampak jelas.
Tim Advokasi GNPF-Ulama (TA GNPF Ulama) setidaknya mencatat lima poin tindakan penegak hukum yang telah melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara. Lima poin itu adalah:
Pertama, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Kedua, hak atas peradilan yang adil (fair trial).
Ketiga, kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of speech).
Keempat, kebebasan berpikir (freedom of thinking).
Kelima, kebebasan memperoleh informasi (freedom of information).
Sudah barang tentu hal tersebut menjadi catatan buruk penegakan hukum di zaman rezim Presiden Joko Widodo. Pola penegakan hukum macam itu seharusnya tidak terjadi pasca reformasi.
Maka wajar jika banyak yang menganggap bahwa apa yang dilakukan rezim saat ini sama persis atau bahkan lebih dari apa yang telah dilakukan oleh Rezim Orde Baru (Orba) terhadap pengkritik penguasa.
Setidaknya, pasca Aksi Bela Islam institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, telah menangani 47 kasus yang dituduhkan kepada 28 orang yang terdiri dari aktivis dan ulama.
Dari 47 kasus yang ditangani polisi, 12 di antaranya adalah tuduhan pasal makar 107 dan 110 KUHP. Sementara yang terbanyak tertuduh kasus adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab dengan 15 kasus.
Pasal yang dituduhkan kepada Habib Rizieq pun beragam, mulai dari pasal 154a KUHP, Pasal 68 UU nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan, pasal penggunaan tanah, sampai dengan pasal UU ITE.
Dari 15 kasus, hanya 3 kasus yang menjadikan Habib Rizieq tersangka. Sementara Ulama dan Aktivis lainnya, ada yang jadi tersangka, namun dilepas tanpa SP3, sampai ada yang sudah menerima vonis pengadilan.
Oleh karenanya, melihat hal tersebut Tim Advokasi GNPF-Ulama menyerukan kepada rezim dan Aparatur Negara untuk segera menghentikan politik adu domba dan pecah belah melalui berbagai “kebijakan negara” yang dinilai diskriminatif dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM warga negara.
“Meminta kepada aparatur negara untuk menghentikan seluruh proses hukum yang penuh rekayasa dan bermotif politik,” ujar anggota Tim Advokasi GNPF-Ulama, Nasrullah Nasution, dalam Konferensi Pers 1 tahun Evaluasi Penegakan Hukum Pasca Aksi Bela Islam di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (22/12/2017).
Selain itu, Nasrullah juga mengatakan bahwa pihaknya meminta agar institusi negara dibersihkan dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
“Membersihkan institusi negara dari oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan negara untuk kepentingan politik,” pinta Nasrullah. (MNM/Salam-Online)