SALAM-ONINE: Tidak sejalan dengan ‘kebijakan’ yang diambil kampusnya soal pelarangan cadar, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar, melayangkan surat pengunduran dirinya dari tugas sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
Buya Guzrizal adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di IAIN Bukittinggi sebagai dosen ushul fiqih di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Dilansir dari Republika.co.id, Buya Gusrizal menyebutkan, ia sudah berupaya untuk memberikan masukan terkait kebijakan soal pembatasan cadar.
Namun pendekatan yang ia lakukan dengan rektorat IAIN Bukittinggi tak membuahkan hasil. Buya Gusrizal mengaku heran, sesuatu yang halal dalam syariat Islam justru dilarang tanpa alasan yang logis.
“Bagaimana saya mempertanggungjawabkannya kelak di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Saya memikul amanah sebagai Ketua MUI di Sumatera Barat. Sudah saya kritisi dari dalam dan luar tapi respons mereka demikian,” jelas Buya Gusrizal.
Melalui surat pengunduran diri yang dibuatnya, Buya Gusrizal berharap kampus IAIN Bukittinggi bisa lebih bijak dalam menyelesaikan polemik kebijakan bercadar. jika surat ini disetujui kampus, maka Buya Gusrizal tidak lagi aktif sebagai dosen per April 2018 mendatang.
“Dalam pertimbangan awal pelarangan adalah radikalisme bisa menyusup melalui cadar. Itu yang sulit sekali saya terima,” katanya.
Sebelumnya, Gusrizal melihat kekhawatiran pihak kampus bahwa pemakaian cadar akan membatasi komunikasi antara dosen dan mahasiswa bisa dipatahkan. Menurutnya, pembinaan tidak menuntut seseorang harus melihat wajah mahasiswinya, kecuali bagi mereka yang gemar memandang wajah perempuan yang bukan mahramnya.
“Apakah teori pembinaan hari ini menuntut pandang-memandang seperti itu? Saya tidak tahu, apakah ini pernyataan yang keluar dari akal yang berisi ilmu atau akal yang dikuasai nafsu,” katanya.
Gusrizal menambahkan, paling tidak ada dua alasan mengapa cadar tidak bisa dilarang di kampus, apalagi institusi yang mengusung Islam di dalamnya. Alasan pertama, lanjutnya, bahwa penggunaan cadar adalah hak Muslimah.
Sedangkan alasan kedua, pemakaian cadar adalah bagian dari pilihan menjalankan pandangan dan anjuran ulama. “Bercadar itu diridhai Rasulullah. Istri-istri beliau, sahabat perempuan semasa beliau, banyak yang mengenakan cadar. Kita umat Nabi Muhammad, tapi kok melarang bercadar. Di kampus Islam pula,” jelasnya.
Gusrizal juga mengingatkan bahwa pandangan ulama terhadap penggunaan cadar berbeda-beda. Meski begitu, Gusrizal menilai bahwa khilafiyah-nya bukan persoalan boleh atau tidaknya. Tapi, tentang tingkatan pensyariatannya.
“Apakah wajib, sunat atau sebatas mubah,” jelas Buya Gusrizal. (*)
Sumber: Republika.co.id