Ketika Panji Rasulullah Diklaim sebagai Bendera HTI

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Kasus pembakaran bendera berkalimat tauhid yang dikaitkan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berlanjut dengan ditetapkannya Uus Sukmana sebagai tersangka. Dikatakan, dialah yang membawa bendera tersebut.

Meski berstatus tersangka, Uus tidak ditahan. “Alasan tidak ditahan karena ancaman hukumannya di bawah 5 tahun atau 3 minggu,” kata Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko.

Menurut Kabareskrim Komjen Arief Sulistyanto, Uus dianggap mengganggu kegiatan Hari Santri Nasional (HSN) yang digelar di Alun-Alun Limbangan Garut. Uus dinilai sengaja membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid yang menurut polisi dan para oknum Banser yang membakarnya sebagai bendera HTI.

Namun, pernyataan polisi berdasarkan keterangan pelaku pembakarnya serta Gerakan Pemuda Ansor dan Banser, juga PBNU, yang mengklaim bendera bertuliskan kalimat tauhid itu sebagai bendera HTI, tak diterima begitu saja oleh umat Islam yang menggelar aksi demonstrasi di berbagai kota dan daerah.

Maka, padaJumat (26/10), sejumlah kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Medan, Makassar, Banjarmasin, Samarinda, Kota Banjar (Jabar), Ciamis (Jabar), Sukabumi (Jabar), Serang (Banten), Yogyakarta, Lampung, Bangka Belitung, Palopo (Sulsel), Klaten (Jateng), Batam, Jambi, Banda Aceh, Pekanbaru, Lombok (NTB), dan lainnya menggelar unjuk rasa untuk memprotes pembakaran bendera berlafadz tauhid pada saat peringatan Hari Santri di Garut.

Para orator dalam aksi yang menentang pembakaran bendera tersebut menegaskan, itu adalah bendera atau panji-panji Rasulullah (Ar-Rayah), bukan bendera HTI. Dan, siapa saja atau ormas Islam mana pun, tak hanya HTI, boleh saja menggunakan bendera bertuliskan kalimat tauhid itu.

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengakui, yang dibakar itu memang bendera bertuliskan tauhid, dan tidak ada tulisan HTI atau logo HTI-nya. Tetapi saat ditanya TVOne pada Kamis petang, 25 Oktober 2018, apakah itu artinya bendera tersebut bukan bendera HTI seperti klaim polisi dan pelaku pembakarnya, Zainut menjawab, betul memang itu bukan bendera HTI, tetapi sering dipakai HTI dalam berbagai kegiatan dan aksinya. Artinya, sering digunakan HTI dalam aksinya, bukan berarti itu bendera HTI. Begitu pula jika ada ormas Islam lainnya menggunakannya, tak lantas diklaim ormas itu sebagai pemilik bendera bertuliskan dua kalimat syahadat itu.

Ngototnya pihak yang menyatakan bendera yang dibakar itu adalah bendera milik HTI dengan keyakinan ada tertulis nama organisasi yang sudah dibubarkan pemerintahan Jokowi tersebut, sebenarnya mudah saja membuktikannya apakah anggapan tersebut benar atau tidak. Meski sudah dibakar, buktinya sudah tidak ada, namun videonya masih ada.

Dari video sebelum dibakar, nampak bendera bertuliskan kalimat tauhid dengan warna dasar hitam dan tulisan dua kalimat syahadat (Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasuulullaah) berwarna putih. Inilah yang disebut Ar-Rayah (panji-panji Rasulullah). Adapun bendera dengan dasar warna putih bertuliskan kalimat tauhid warna putih disebut Al-Liwa.

Jelas dalam video itu, seperti dikatakan Zainut Tauhid, memang tidak ada tulisan ataupun logo HTI-nya. Tetapi tetap saja pihak-pihak tertentu menyebut itu bendera HTI. Dan, ketika polisi menyatakan tidak ada unsur pidana kepada si pelaku pembakar, berbagai kalangan menyatakan protesnya.

Kabareskrim Polri Komjen Arief Sulistyanto menyatakan, pembakaran bendera tidak akan terjadi jika Uus (yang jadi tersangka membawa bendera) tidak hadir dalam acara Hari Santri tersebut. (detik.com/26 Oktober 2018).

Komjen Arief juga menyatakan, tiga orang pembakar bendera itu melakukannya secara spontan, tidak ada niat jahat dari Banser saat melakukan pembakaran, katanya. (republika.co.id/26 Oktober 2018).

Pihak Gerakan Pemuda Ansor pun mengatakan, para anggotanya yang melakukan pembakaran tersebut justru ingin memuliakan kalimat tauhid dengan membakarnya.

Terkait dengan pernyataan polisi, warga net pun mengomentarinya.

“Ini filosofi aneh…ibarat kita lapor motor hilang, polisi bilang: ‘Motor tidak hilang kalau Anda tidak bawa motor’,” kata seorang netizen.

“Orang mencuri, tapi sebelumnya tidak ada niat jahat, itu bisa bebas?” tanya warga net.

Seorang netizen lainnya menulis:

-Pembakaran bendera tidak akan terjadi jika Uus tak hadir.

-Uus tak akan hadir jika tak ada peringatan Hari Santri.

-Hari Santri tidak akan ada jika tak ditetapkan Jokowi.

Ahli hukum pidana Prof Dr Mudzakir, SH, MH menyatakan kalau alasan ingin memuliakan kalimat tauhid, seharusnya bendera itu diambil dan disimpan baik-baik, bukan membakarnya. Ini, katanya yang menimbulkan kegaduhan. Ada rasa benci terhadap bendera tauhid tersebut (dengan alasan itu bendera HTI) sehingga sengaja membakarnya, diiringi dengan bernyanyi dan joget-joget. Prof Mudazkir menilai ada pelecehan dan penodaan terhadap kalimat tauhid yang semestinya dimuliakan. Karena, itu adalah kalimat tauhid dan syahadat yang mestinya dimuliakan. Aktivitas yang direkam itu kemudian videonya menyebar, sehingga menimbulkan kegaduhan.

Oleh karenanya, Prof Mudzakir, dalam wawancara di TVone, Kamis (25/10) petang menyatakan pembakaran bendera tersebut sudah memenuhi unsur pidana. Pakar hukum pidana ini mempertanyakan, bagaimana polisi bisa menyimpulkan tidak ada unsur pidananya. Padahal, kata Prof Mudazkir, kalimat tauhid adalah kalimat mulia yang semestinya dimuliakan, disimpan dengan baik, bukan membakarnya, apalagi diiringi dengan nyanyi-nyanyi dan joget-joget.

Filosofi memuliakan kalimat suci dengan membakarnya tidak dapat dijadikan alasan dalam konteks di acara itu. Tiga anggota Banser yang disebut-sebut membakar bendera itu sedang tidak menemukan kalimat suci di sembarang tempat, sehingga perlu membakarnya. Sejumlah tokoh Islam yang berorasi dan publik yang melihat pembakaran dalam video itu menilai bendera tauhid itu dibakar dengan show of force, penuh amarah, kebencian, pelecehan dan penodaan—diiringi nyanyi-nyanyi dan joget-joget.

Karena itu, ribuan warga Jawa Barat yang menghadiri Aksi Bela Tauhid di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (26/10), menuntut polisi menghukum pembakar bendera Tauhid tersebut.

Pantauan Ina News Agency, ribuan massa mengepung Gedung Sate sambil mengibarkan bendera Tauhid. Mereka juga membentangkan bendera sepanjang 50 meter berlafaz “Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah” itu.

Baca Juga

Orasi di antaranya disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Jabar H Edwin Senjaya, Ketua DDII Jabar M. Roinul Balad, Ketua FUUI KH Athian Ali dan Wagub Jabar UU Ruhzanul Ulum.

Ketua Harian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Roinul Balad Jabar dalam orasinya mengingatkan pemerintah dan aparat agar dapat menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.

“Hari ini bukan terakhir kita melakukan aksi. Jika aparat tidak menghukum para pembakar kalimat Tauhid, maka mereka telah melakukan politik sontoloyo,” ujarnya.

Selain itu, Ketua Forum Ulama dan Umat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali dengan mengenakan topi berlafadz tauhid menegaskan bahwa aparat harus dapat memproses para pelaku pembakaran.

“Kami mendukung penuh pernyataan MUI yang telah meminta kepada pihak pelaku pembakaran untuk menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh umat Islam,” kata Kiai Athian.

Ia juga menuntut agar pimpinan pusat GP Ansor serta Banser bertanggung jawab serta benar-benar mampu membina, mengarahkan juga mengendalikan seluruh anggotanya agar tidak mengulangi perbuatan yang telah melukai umat Islam itu.

“Kami meminta ketegasan sikap pemerintah serta aparat keamanan untuk melindungi simbol-simbol sekaligus memberikan jaminan bahwa bendera tauhid tidak disangkut pautkan dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia,” tegasnya.

Dalam aksi tersebut, elemen ormas Islam dan kelompok masyarakat bergabung turut serta menyuarakan aspirasinya.

Di antaranya geng motor Brigez, XTC, Moonraker, Pemuda Hijrah, Pejuang Subuh, Pembela Ahlus Sunnah, Kodas, DDII, Pemuda Persis, Bandung Fight Club (BFC), perguruan pencak silat, dan lain-lain.

Dalam aksi demo yang digelar di Jakarta, Jumat (26/10), ribuan massa memadati jalan Medan Merdeka Barat dengan titik kumpul dimulai dari Patung Kuda. Massa menuntut Kemenpohulkam untuk menindaklanjuti tindakan oknum Banser yang membakar bendera Tauhid.

Saat demo berlangsung, eks-Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menjadi salah satu orator. Dalam Orasinya Ismail menjelaskan bahwa haits-hadits yang menjelaskan mengenai panji Rasulullah (Ar-Rayah) dan bendera Rasulullah (Al-Liwa) adalah benar adanya.

Ismail menyebutkan bahwa banyak para ulama hadits yang menerima keabsahan akan hadits tersebut dengan status diterima (maqbul). Hampir tidak ada ulama hadits yang melemahkan derajatnya (dhaif).

Setelah menjelaskan hal tersebut, Ismail pun menyeru massa untuk mengangkat Rayah dan Liwa yang bertuliskan kalimat tauhid itu.

“Kalau begitu, angkat bendera tauhid itu, angkat kibarkan…!” Seruannya itu disambut massa dengan mengangkat Rayah dan Liwa secara bersamaan.

Selanjutnya Ismail meminta massa mengangkat Ar-Rayah tinggi-tinggi. Maka serentak ribuan peserta aksi damai itu mengibarkan dan mengangkat tinggi-tinggi bendera dengan warna dasar hitam bertuliskan kalimat tauhid warna putih.

“Sekarang angkat Al-Liwa-nya tinggi-tinggi,” seru Ismail lagi. Massa pun mengangkat tinggi-tinggi bendera dengan dasar warna putih bertuliskan kalimat tauhid warna hitam.

Ar-Rayah dan Al-Liwa, bukan bendera HTI

“Sekarang, angkat tinggi-tinggi bendera HTI, angkaaat…!!!” seru Ismail lagi.Tak ada satu orang pun dari ribuan massa itu yang mengangkat dan mengibarkan bendera yang diminta Ismail.

“Tidak ada!” jawab massa serempak. Massa ingin menunjukkan bahwa bendera yang mereka bawa tidak ada satu pun milik HTI. Mereka hanya membawa Ar-Rayah (yang dibakar saat peringatan Hari Santri di Garut) dan Liwa.

Mendengar jawaban massa, Ismail pun mempertanyakan, kenapa massa menganggap yang dibawanya bukan bendera HTI, padahal Banser mengklaim telah membakar bendera HTI.

Lah itu kok kemarin ada yang bilang, itu bendera HTI?” tanya Ismail.

“Bohooong…!!!” jawab massa.

Ismail kemudian menyetujui jawaban massa dengan mempertegas bahwa kain bertuliskan kalimat tauhid yang dibakar oknum anggota Banser di Hari Santri Nasional di Garut Jawa Barat itu adalah Ar-Rayah, bukan bendera HTI. (mnm/mus)

Baca Juga