Gaduh Disertasi Legalkan Zina, Pakar INSISTS: Rujukan Abdul Aziz Keliru

Dr Syamsuddin Arif

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Disertasi seorang mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Aziz, telah menuai polemik dan kegaduhan.

Publik menilai apa yang dipaparkan Abdul Aziz dengan merujuk ke pemikiran seorang liberalis asal Suriah, Shahrour, sama dengan telah melegalkan zina atau seks di luar nikah.

Penilaian publik bahwa disertasi Abdul Aziz melegalkan zina, dianggap tepat oleh seorang akademisi dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Syamsudin Arif.

Hal tersebut dikatakan Syam dalam seminar sehari bertajuk “Fenomena Transnasionalisme Islam Liberal di dunia Akademik” yang digelar INSISTS, di Jalan Kalibata Utara, Jakarta Selatan, Ahad (15/9/2019).

“Saya pikir berita di media, dia (Aziz), mau menghalalkan zina, itu wartawan sudah akurat. Karena memang itu dinyatakan sendiri (dalam disertasi),” ungkap Syam yang hadir sebagai pemateri.

Seperti diberitakan, Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Abdul Aziz, menulis disertasi kontroversial berjudul “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital”. Disertasi ini diujikan untuk mendapat gelar doktor (Dr) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Abdul Aziz menerangkan alasan dirinya menuliskan disertasi yang mengundang kegaduhan itu karena prihatin dengan fenomena kriminalisasi terhadap hubungan seksual di luar nikah.

“Berangkat dari itu saya mencoba membuat, menawarkan solusi-solusi, itu pun secara akademis. Diharapkan dari penelitian itu bermanfaat. Tentu kalau mau memakai. Namanya juga usulan. Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Bukan fatwa,” ujar Abdul Aziz seperti diberitakan sejumlah media pada Rabu (4/9) lalu.

Meski akhirnya kandidat Doktor UIN Yogyakarta itu minta Maaf dan berjanji merevisi disertasinya, namun soal sahnya hubungan seksual di luar nikah itu masih jadi perbincangan publik. Dia menyatakan hanya menuliskan pemikiran Muhammad Syahrur (Shahrour), seorang profesor Teknik Sipil Emeritus di Universitas Damaskus, Suriah, tentang konsep Milk Al-Yamin.

“Karena ini memikirkan kriminalisasi (dalam hubungan seksual di luar nikah). Sampai dirajam, sering penggerebekan-penggerebekan. Bukan salah mereka. Siapa yang dirugikan coba.  Tidak ada,” ungkapnya.

Sebelum membedah disertasi Abdul Aziz, Dr Syamsuddin Arif dalam sesi materinya, lebih dulu membongkar sosok Shahrour yang menjadi rujukan Aziz dalam menghalalkan zina.

Abdul Aziz dengan buku Shahrour, rujukannya, yang dinilai keliru

Menurut Syam, ada beberapa masalah dalam diri Shahrour, sehingga siapapun yang merujuk tafsir Shahrour atas teks-teks hukum Islam untuk menyimpulkan sebuah hukum, jelas akan keliru.

Masalah pertama Shahrour yang diungkap Syam adalah soal otoritas. Syam menilai Shahrour tidak memilki otoritas untuk menafsirkan teks-teks Islam. Shahrour yang tidak pernah mengenyam pendidikan Islam formal, menurut Syam, terlalu berani menafsirkan teks Al-Qur’an dengan akal pikirannya.

Hal itu bisa dibuktikan dalam buku perdana Shahrour berjudul “Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah” (al-Kitab dan Al-Qur’an: Sebuah Pembacaan Kontemporer) yang telah membuat gaduh seantero Timur Tengah.

Setidaknya, kata Syam, pasca terbitnya buku Shahrour tersebut, sebanyak tujuh ilmuan dan pakar keislaman mengangkat pena untuk mengkritik, antara lain:

  1. Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, dalam artikel berjudul al-Khalafiyah al-Yahudiyyah li-Syi’ar Qira’ah Mu’asirah (Latar belakang Yahudi di balik Bacaan Kontemporer) di majalah Nahj al-Islam, no 42, Desember 1990.
  2. Syawqi Abu Khalil, Taqattu’at Khatirah fi darb al-Qira’ah al-Mu’asirah(Keterpotongan dan ketidaknyambungan yang berbahaya pada metode bacaan kontemporer) di majalah Nahj al-Islam, no. 43, 1991.
  3. Salim al-Jabi, al-Qira’ah al-Mu’asirah li Duktur Muhammad Syahrur: Mujarrad Tanjim-kadzab al-munajjimun walaw sadaqu (Pembacaan kontemporer doktor M. Syahrur: Tebakan murni – semua ahli nujum itu bohong meskipun mereka benar).
  4. Tariiq Ziyadah, Tarafah fi at-Taqsim wa Gharabah fi at-Ta’wil(Kejangnggalan pemilahan dan keanehan penafsiran) di majalah an-Naqid no. 45, 1992.
  5. Munir Muhammad Tahir al-Syawwaf, Tahafut al-Qira’ah al-Mu’asirah fi ad-Dawlah wal-Mujtama’ (Kerancuan pembacaan kontemporer mengenai negara dan masyarakat) cetakan Beirut, 1993.
  6. Yusuf as-Syaydawi, Baydat ad-dik: Naqd Lughawi li-kitab al-Kitab wa al-qur’an(Telur Ayam Jago: kritik kebahasan buku al-Kitab  wal Qur’an) cetakan Damaskus, 1993.
  7. Mahir al-Munajjid, al-Isykaliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitab wal Qur’an: Dirasah Naqdiyyah(Problematika metodologis dalam al-Kitab wal Qur’an) Damaskus, 1994.

Shahrour juga menurut Syam, disinyalir terpengaruh unsur-unsur pemikiran Yahudi, Marxisme, sekularisme dan liberalisme. Bahkan seorang pemikir liberal Nasr Hamid Abu Zayd pun menganggap proyek hermeneutis garapan Shahrour, sesungguhnya secara metodologis terbilang lugu.

Baca Juga

Masalah kedua pada Shahrour menurut Syam adalah pada masalah metodologi. Para “mufassir liberal” semacam Shahrour, ungkap Syam, seringkali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya rawan secara metodologis.

Menafsirkan Al-Qur’an menurut alumnus Universitas Islam Antarabangsa (UIA) dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia yang berguru langsung kepada Syed Muhammad Naquib Al-Attas ini, bukanlah hal sepele dan ringan. Tidak sembarang orang bisa dan bebas melakukannya. Kemudian Syam mengutip Hadits Nabi, “Siapa saja yang mengatakan sesuatu mengenai Al-Qur’an tanpa landasan ilmu atau dengan opininya sendiri, maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka,” (HR. Imam Tirmidzi).

Syam menganggap itulah sebabnya mengapa tokoh sekaliber Abu Bakar tidak banyak komentar ketika ditanya mengenai tafsir suatu ayat.

“Jangankan melakukan re-interpretasi, membuat interpretasi saja beliau tidak berani,” terang doktor dengan disertasi berjudul ‘Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam’ dibawah bimbingan Paul Lettinck itu.

Syam sendiri menerangkan, dengan begitu bukan berarti tidak boleh menafsirkan atau menafsirkan kembali Al-Qur’an. Interpretasi dan reinterpretasi dibolehkan asal tidak berdasarkan opini semata.

Syam memaparkan apa yang telah diterangkan Imam Suyuti dalam kitabnya at-Tahbir fi ‘Ilmi at-Tafsir mengenai kualifikasi seseorang yang layak menjadi mufassir, yakni seorang tersebut harus menguasai bahasa Arab dan literatur Hadits secara mendalam dan komprehensif.

Jika persyaratan di atas sudah dipenuhi, seseorang yang ingin menafsir harus mengikuti prosedur yang berlaku, yakni menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan sunnah Rosulullah, dan menafsirkan dengan keterangan para ahli tafsir di kalangan Sahabat, Tabi’in dan para ulama salaf.

Adapun sebuah tafsir yang dikatakan berlandaskan opini menurut Syam dapat diukur sebagaimana diterangkan Imam Al-Ghazali. Dalam kitab fenomenalnya, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan ada tiga macam jenis penafsiran yang dilarang dan dikecam.

Pertama, jika menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan linguistik semata, tanpa menghiraukan keterangan hadits dan riwayat shahih.

Kedua, jika sengaja melompati dan menafikan tafsiran literal (zahir) seraya membuat tafsiran allegoris, seperti golongan Batiniyah yang mengatakan bahwa kata-kata ‘api’ (nar) dalam QS 21 ayat 69 itu maksudnya kemarahan Raja Namrud, bukan “si jago merah”.

Ketiga, apabila sebelum menafsirkan Al-Qur’an, seseorang sudah terlebih dulu mempunyai ide, gagasan, teori, pemikiran ideologi, keyakinan atau tujuan tertentu, lantas Al-Qur’an ditafsirkan sesuai dengan apa yang dipikirkan sebelumnya.

“Ini sama dengan meletakkan gerbong di depan lokomotif, putting the cart before the horse,” ungkap salah seorang Pendiri INSISTS ini.

Kemudian masalah terakhir yang ada pada Shahrour menurut Syam ada pada Epistemologis. Syam mengungkapkan, persoalan mendasar yang juga luput dari wacana “liberalisasi tafsir” adalah seputar status dan validitas suatu penafsiran.

Ungkapan seorang pemikir liberal, bahwa penafsiran ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak menurut Syam adalah pendapat yang sangat rapuh secara epistemelogis.

Demikian juga seruan agar setiap orang dan golongan berani menafsirkan “berdasarkan sudut pandangnya sendiri”, serta mau menghargai hak orang dan golongan lain untuk membuat interpretasi sendiri.

Ungkapan semacam di atas, menurut Syam hanya menunjukkan kerancuan berpikir yang tidak disadari (paralogism) dan kekeliruan yang disengaja untuk mengecoh dan menyesatkan orang lain (sophism).

“Dan ini semua lahir dari sikap skeptis dan bermuara pada relativisme epistemologis,” kata Syam yang pernah berguru kepada Hans Daiber di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe Universität Frankfurt, Jerman selama empat tahun tersebut. (TB M Nizar Malisy/salam)

Baca Juga