Pelajaran Agama Mau Dilebur dengan PKn, Komisi X: Sangat tidak Kontekstual

Anggota Komisi X DPR RI, Prof Dr Zainuddin Maliki, M.Si

SALAM-ONLINE: Anggota Komisi X DPR RI Prof Dr Zainuddin Maliki, M.Si menilai wacana untuk melebur (menggabungkan) mata pelajaran Agama dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangat tidak kontekstual, bahkan cenderung ahistoris. Wacana itu muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) baru-baru ini.

“Kalau ada ide seperti itu, ya tentu tidak kontekstual dan ahistoris. Artinya, pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya dan akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius. Begitu juga kalau isi kurikulumnya pendidikan agama dikurangi jam, agama menjadi digabung dengan budi pekerti, PKn, jamnya menjadi sangat sedikit. Itu tidak mencerminkan akar budaya bangsa,” kata Zainuddin, dikutip redaksi dari situs resmi DPR RI,” Jumat (19/6/20).

Zainuddin mengingatkan, para Founding Fathers Bangsa Indonesia dulu merumuskan Pancasila dan kemudian menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius. Memang ada negara-negara barat yang menjadikan agama tidak sebagai mata pelajaran, tetapi itu kan akar budayanya berbeda dengan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Zainuddin menceritakan, ketika berkunjung ke SMA Trinity di London, dia memperoleh penjelasan di sana bahwa pelajaran agama itu diajarkan di Inggris mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Pelajaran agama diajarkan selama itu. Ketika pulang Zainuddin membawa buku pelajaran agama untuk SMP.

Baca Juga

“Karena siswanya banyak, agamanya berbeda-beda, maka di dalam bukunya itu ada pelajaran agama yang macam-macam, tetapi di satu buku pelajaran agama. Di dalamnya ada pelajaran agama Kristen, Katolik, Konghucu, Islam, Hindu, Budha, dan agama lainnya dalam satu buku,” ujarnya.

Menurut politisi PAN itu, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sebenarnya juga mengacu konsep seperti itu. Dalam mata pelajaran agama, siswa diajarkan sesuai agamanya. Misalnya, di Madrasah ada anak Katolik, tetap harus dijarkan agama Katolik walaupun dia hanya sendiri. Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik, maka harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut.

“Begitulah yang terjadi di Inggris. Nah, Inggris saja menempatkan agama secara khusus seperti itu. Lah, Indonesia yang punya akar budaya bangsa yang religius, saya kira pelajaran agama harus mendapatkan porsi yang proporsional di dalam kurikulum kita,” tegasnya.

Karena gagasan (peleburan) ini belum digulirkan dan konsepnya belum menjadi konsumsi publik, anggota dewan dari dapil Jawa Timur X ini meminta agar jangan sampai ada pemikiran kurikulum yang disusun tidak berangkat dari akar budaya bangsa yang religius. (S)

Baca Juga